4.20.2016

BERCERMIN PADA SANTIAGO BERNABEU


Dinihari itu, di depan layar kaca saya terkagum-kagum dengan kemegahan Estadio Santiago Bernabéu yang dipenuhi oleh puluhan ribu Madridista. Stadion kandang tim sepakbola terkaya di dunia itu terdiri atas lima ‘umpak’ tribun yang dapat menampung l.k. 81.000 penonton. Jumlah yang sangat banyak mengingat pertandingan yang diadakan adalah pertandingan semi final Piala Champion Eropa.

Dinihari itu, bukan hanya soal sepak bola di tengah lapangan hijau saja yang menarik perhatian. Tetapi juga menerawang sebuah sistem yang masif dan terkendali, sistem yang dapat mengelola jumlah penonton yang begitu banyak tersebut sebagai sebuah sistem yang tentu saja selain menguntungkan klub, juga membuat penonton yang berada di dalamnya merasa aman dan nyaman saat mendukung tim kesayangannya.

81.000 orang yang memenuhi stadion adalah keuntungan finansial bagi klub. Dalam hitung-hitungan ‘bodoh’ saja, bila satu orang dikenai tiket setara dengan Rp. 20.000, maka pada laga semifinal itu Real Madrid akan mendapatkan transaksi kotor hasil penjualan tiket sebanyak Rp. 1.620.000.000 (satu milyar enam ratus du apuluh juta rupiah). Itu baru dari tiket, belum lagi pendapatan dari iklan dan sponsorship, hak siar, dan lain-lain. Sekedar tambahan informasi, di situs Real Madrid dicantumkan harga tiket termurah adalah 13 € ( 1 € = Rp. 12.000).

Dengan sistem pengelolaaan penonton yang masif, terstruktur, dan terkendali tidak hanya klub yang diuntungkan. Penonton yang telah berkorban mendapatkan tiket termurah pun mendapatkan hak sesuai pengorbanan yang dikeluarkannya. Minimal, dia akan mendapatkan tempat duduk sesuai dengan nomor yang tertera di di tiketnya. Tidak ada kekhawatiran kursinya diduduki orang lain yang tidak berhak saat misalnya, yang bersangkutan kebetulan kebelet dan terpaksa harus ke kamar kecil di bagian lain tribun.

Dinihari itu, tiba-tiba teringat akan Stadion Si Jalak Harupat yang tak kalah megah di tengah persawahan kota Soréang Kabupaten Bandung. Selain merupakan kandang bersama Persib Bandung dengan tim sekota, Pelita Bandung Raya, Stadion si Jalak Harupat merupakan stadion milik pemerintah Kabupaten Bandung, yang sejatinya adalah stadion kandang tim Persikab Kab. Bandung yang kini tengah berjuang di Divisi Utama.

Jangankan sistem pengaturan dan pengelolaan penonton yang baik, stadion pun dalam kondisi tidak terawat. Sampah di mana-mana seolah berabad tidak dibersihkan, tidak ada sanitari (toilet) yang layak. WC penonton tidak terawat, tidak berair, dan bahkan mushola yang juga ‘barau hangseur’, membuat Bobotoh kesulitan tempat yang bersih dan suci dari najis untuk melaksanakan ibadah sholat Ashar dan atau magrib di saat menunggu pertandingan yang digelar di sana.

Tidak ada kenyamanan yang bisa dinikmati penonton yang telah membeli karcis di saat menunjukkan dukungan kepada tim kesayangannya.

Sistem pengelolaan penonton yang buruk juga membuat Persib tidak berhasil meraih keuntungan finansial yang sejatinya dapat digunakan untuk membiayai klab. Pada musim 2012-2013 yang lalu, pemasukan tiket dianggarkan sebesar l.k. Rp. 3 milyar. Tetapi pada akhir musim kompetisi, ternyata hanya terpenuhi setengahnya saja. Artinya, untuk musim kompetisi berikutnya Persib telah kehilangan dana pengelolaan klub sebanyak 1,5 miliar. Jumlah yang luar biasa untuk ukuran klub sepak bola Indonesia!!

Pada pertandingan melawan Arema Cronus tempo hari, misalnya, pengelolaan sangat tidak profesional. Para Bobotoh terpaksa memasuki tribun stadion saling dorong dan berdesakan karena keterlambatan antisipasi dari panpel dan petugas keamanan dalam mengatur antrian.

Usai dzuhur, sekitar pukul 13.00 gerbang masuk ke semua tribun telah dipadati ribuan bobotoh yang dalam antrian yang kacau. Petugas penjaga karcis dan aparat kemanan dari Polri/TNI baru datang 30 menit kemudian. Keadaan berubah menjadi tidak terkendali karena antrian yang semula sudah kacau bertambah kacau karena terlambatnya antisipasi. Walhasil para Bobotoh baru bisa masuk ke tribun setelah berdesakan dan terhimpit ribuan Bobotoh lainnya.

Di tengah kekacauan itu beberapa orang Bobotoh ‘tergencet’, dan berteriak kesakitan. Tapi jangankan menolong, yang lain pun banyak yang tidak bisa bergerak dalam kerumunan yang kacau dan mengerikan itu.

Di stadion dengan kapasitas penonton 27.000 itu, manusia seakan tidak ada nilainya di mata panpel. Para bobotoh seolah bukan manusia yang layak mendapat perhatian seperti manusia. Hal ini juga diperparah, atau tepatnya, menjadi celah kesempatan bagi oknum petugas panpel untuk memasukan penonton yang tak berkarcis. Walhasil, setelah berhimpitan di gerbang masuk, Bobotoh pun masih harus berdesakan di dalam tribun karena jumlah penonton yang membludak jauh melebihi kapasitas kursi stadion.

Minimnya partisipasi petugas keamanan untuk menjaga ketertiban di depan gerbang masuk juga menjadi celah segelintir oknum bobotoh untuk menyelundupkan benda-benda yang dilarang dibawa ke dalam stadion: cerawat (flare), bom asap, mercon tjang we, juga botol minuman platik. Petugas keamanan hanya berusaha menyobek karcis dan menyelundupkan penonton tak berkarcis, tetapi luput melakukan pemeriksaan terhadap barang bawaan penonton. Walhasil, di paruh kedua pertandingan di saat Persib unggul atas Arema, benda-benda haram tersebut dengan bebasnya menyala di stadion. Tak ketinggalan botol plastik eks air minum turut pun berhamburan ke tengah lapangan.

Anehnya, kejadian-kejadian ceroboh itu selalu terulang di partai-partai ‘big match’ yang dipenuhi Bobotoh. Aparat yang seharusnya lebih sigap di saat Bobotoh membludak, malah sebaliknya. S.O.P diabaikan, penonton tanpa karcis bebas memasuki tribun, dan faktor keamanan-kenyamanan Bobotoh diabaikan. Sedangkan di pertandingan-pertandingan lain yang jumlah penontonnya relatif normal, petugas justru sigap dan bertindak sesuai SOP.

Dengan demikian, denda dan sanksi bagi Persib menjadi sebuah kewajaran karena memang otoritas yang bertugas menggelola keamanan dan ketertiban penonton justru tidak menggunakan otoritasnya dengan baik.

Bobotoh ‘nakal’ yang seharusnya dapat diantisipasi, justru malah mendapat ruang untuk melakukan kenakalannya: tidak membeli karcis juga membawa benda-benda terlarang. Dengan kata lain, denda dan sanksi yang dijatuhkan PSSI awal mulanya disebabkan oleh kelalaian panpel yang bertugas, bukan melulu kesalahan Bobotoh. Karena bila panpel yang bertugas menjaga gerbang bekerja sesuai SOP, penyelundupan cerawat, bom asap, mercon, dan botol air mineral dapat diantisipasi. Bila panpel bertindak tegas terhadap penjual air minum botolan, maka tidak akan pernah ada botol yang melayang ke tengah lapangan.

Dinihari itu, bercermin pada pertandingan di Estadio Santiago Bernabéu. 81.000 penonton bersorak dan bergembira di dalam stadion megah dengan lima umpak tribun. Madridista dan The Bavarian berbaur bergembira bersama menyaksikan pertandingan besar semi final Piala Champion Eropa leg pertama. Tak ada cerawat, bom asap, dan mercon yang meledak dan mengganggu pertandingan.

Dinihari itu, di layar kaca saya melihat Estadio Santiago Bernabéu sebagai sebuah sistem industri sepakbola yang ideal. Sistem yang membuat para supporter di dalamnya kembali menjadi manusia yang bersuka cita dan bergembira di saat mendukung para pahlawannya berlaga di lapangan hijau.

Sebuah sistem yang seharusnya ditiru untuk keuntungan, keamanan, kenyamanan bersama. Karena bila Persib Juara menjadi tujuan bersama, maka proses menjadi juara pun harus ditularkan kepada semua pihak agar tidak ada perilaku koruptif baik di lingkungan pengelola-pelaksana juga di kalangan Bobotoh. Itulah sejatinya juara, perjuangan bersama mewujudakan cita-cita yang tidak hanya sekedar piala saja.

Penulis adalah Pimpinan Redaksi Suarabobotoh.com

Pernah dimuat di suarabobotoh.com
27-04-2014 

No comments: