8.28.2011

Anakronik di Serial X-Men

Film besar pun tidak luput dari Anakronik.

Perhatikan screenshoot berikut dari X-Men 3 - The Last Stand (2006):



Pada adegan ini Charles Xavier a.k.a Professor X bersama Erik Leshnerr a.k.a Magneto sedang berjalan menuju tempat tinggal Norma Jean Grey.

Screenshoot berikutnya adalah dari X-Men 5 - The First Class (2011):


Pada adegan ini Charles Xavier sudah duduk di kursi roda setelah dinyatakan lumpuh setengah badan akibat tertembak peluru nyasar pada pertempuran X-Men melawan Shaw.


X-Men 5 dinyatakan sebagai prekuel pelengkap X-Men Trilogy yang dinyatakan 'selesai' pada X-Men 3. X-Men 4, Wolverine Origins (2009) dan X-Men 5 - First Class (2011) adalah kisah dengan plot alur balik/flashback untuk menjelaskan asal muasal X-Men, menjelaskan siapa itu Profesor X, Magneto, Wolverine, serta tokoh-tokoh sentral lainnya yang terdapat pada X-Men 1 s.d. 3. Tetapi menjadi anakronik karena ternyata kesalahan fatal terjadi (atau disengaja?) di mana Professor X yang dinyatakan lumpuh setelah tertembak dan telah menggunakan kursi roda, tapi pada X-Men 3 (yang dibuat lebih dulu dari X-Men 5), ia muncul dengan bugar. hanya rambutnya saja yang berbeda.


Selain itu, di X-Men 5 diceritakan bahwa Professor X dan Magneto berpisah setelah pertempuran melawan Shaw. Tetapi di X-Men 3, X dan Magneto masih bersahabat, bahkan bersama-sama membangun sekolah khusus para mutant.

Catatan ini sekedar pengingat saja kalau nama besar Hollywood. Marvel Comics dan 21 Century Fox Studios bisa melakukan kesalahan yang sangat fatal dan memalukan. :)

sumber tambahan: http://en.wikipedia.org/wiki/X-Men_(film_series)

FIFA, PERATURAN, DAN ISLAM

Gonjang-ganjing di tubuh PSSI beberapa waktu lalu cukup menarik perhatian publik pecinta sepak bola. Seperti biasa ada pro-kontra mengenai intervensi FIFA yang begitu kentara di tubuh PSSI. Apalagi ancaman skorsing terhadap keanggotaan PSSI menjadi sesuatu yang mengerikan. PSSI sebagai perwakilan Indonesia di bidang persepakbolaan juga mendapat tekanan dari publik sepak bola nasional karena dua kali berturut-turut tidak mampu menyelenggarakan kongres. Selain itu tekanan dari kelompok 78 sebagai pemilik suara sah kongres PSSI menjadi sangat dominan dan tampak kontra produktif.

Berbagai upaya dilakukan untuk melobby FIFA agar FIFA memuluskan jalan kandidat mereka, Arifin Ponogoro dan George Toisutta, masuk ke bursa pencalonan pimpinan PSSI. Tetapi FIFA tetap bersikukuh pada pendiriannya: AP dan GT tidak bisa masuk bursa (juga NH dan NB), serta PSSI membubarkan kompetisi ilegal (maksudnya LPI). Bila tidak bisa, maka PSSI akan di-skors dari keanggotaannya di FIFA sebagai satu-satunya asosiasi sepakbola sedunia. Bila tidak menurut, opsi lainnya adalah PSSI dipersilahkan bergabung dengan asosiasi lain, bila ada. Tidak hanya Timnas, tapi seluruh komponen sepakbola Indonesia terancam untuk diisolasi dari sepak bola internasional. Hanya bisa menonton tapi tak bisa bertanding, bahkan sekedar persahabatan dengan negeri Upin-Ipin.

Akhir cerita, kita akhirnya tahu. Kongres PSSI berjalan sukses, pimpinan PSSI sudah terpilih, dan LPI akhirnya dibubarkan untuk kemudian dipersilahkan merger dengan klab peserta ISL. Cerita berakhir bahagia, setidaknya untuk saat ini.

FIFA sedemikian ketat menjalankan aturan yang sudah mereka buat untuk menjaga dominasi mereka di dunia sepak bola. Tidak boleh ada penyimpangan atau bid'ah yang dapat mengganggu eksistensi FIFA ke depan. Banyak alasan pasti, tetapi salah satunya adalah menjaga agar sepak bola tetap kompetitif dalam aturan yang sudah ditetapkan.

***

Bila kita menarik cerita di atas ke dalam konteks agama Islam di Indonesia, misalnya, kita akan menemukan cerita yang mirip. Cerita yang hingga kini belum usai, belum beres, yang ada malah terjadi pro-kontra dan kekerasan. Ummat Islam di Indonesia beberapa hari ini masih menunggu perkembangan kasusnya akan menggelinding ke mana. Sebut saja ada pihak "Islam" yang mengakui adanya nabi lain selain Muhammad SAW serta ada kitab lain selain Al Quran. Pihak yang kontra dengan keberadaan sekte ini berupaya menunjukkan dalil-dalil yang sekiranya shoheh, kompeten, dan bersumber pada sumber yang dipercaya: Al Qur'an, Al Hadits, serta ijtihad ulama. Pihak yang kontra berulangkali mendesak pemerintah sebagai Ulil Amri untuk membubarkan sekte ini. Tak jarang desakan-desakan ini berbuntut dengan adanya kekerasan yang mengorbankan banyak pihak. Fitnah pun merajalela, kebenaran kembali dipertaruhkan. Negara asing pun turut mencoba melakukan intervensi atas nama HAM dan kemanusiaan.

Sedangkan yang pro juga mengajukan banyak dalil, selain dengan sumber dalil yang sama, ditambah juga dengan pemikiran-pemikiran mengenai HAM, demokrasi, dan kemanusiaan. Walhasil, selain menjadi peperangan 'fisik', juga menjadi peperangan ideologis, di mana setiap pihak berusaha untuk saling menang. Saling mengalahkan. Sementara Pemerintah Pusat/Ulil Amri sampai hari ini masih bersikap gamang.

Sebagai antisipasi untuk meredam berbagai gejolak, keluarlah SK-SK Gubernur yang secara langsung maupun tidak melarang adanya aktivitas sekte tersebut di wilayahnya. Kegamangan itu menjadi api dalam sekam, yang bisa saja kembali meledak dan merugikan nama Islam itu sendiri.

Kita tidak pernah tahu kapan, tapi di dalam hati kekhawatiran itu pasti ada. Khawatir akan merembet ke bidang kehidupan yang lain, terutama mengganggu stabilitas nasional, mengganggu rasa kebangsaan yang memang semakin mengkhawatirkan, juga sendi-sendi kehidupan moral lainnya.

***

Bagi saya, benang merah antara FIFA dan agama Islam adalah pada sisi bagaimana peraturan dan nilai-nilai ditegakkan. FIFA tahu, bila mereka memberikan dispensasi bagi PSSI untuk meloloskan AP-GT serta melegalkan LPI akan membuat tatanan dan dominasi yang mereka bangun selama ini, perlahan-lahan ambruk. Bakal ada kejadian di negara lain seperti yang terjadi di Indonesia, dan merembet ke banyak hal lainnya. Apa yang dilakukan FIFA, dalam hemat saya, adalah wajar. Mereka bersikeras untuk menjalankan aturan yang mereka buat tidak lain adalah untuk menjaga eksistensi FIFA itu sendiri. Dengan demikian setiap pemikiran yang menyempal dan tidak sesuai dengan aturan FIFA akan dianggap suatu pelanggaran.

Pelanggaran itu akan coba untuk diluruskan dan diperbaiki sebisa mungkin. Bila gagal, maka setiap pelanggar akan dihukum. Bila tidak bisa menerima hukuman itu, FIFA mempersilahkan negara tersebut mencari asosiasi sepak bola selain FIFA, bila ada .

Demikian juga Islam di Indonesia. Pihak ulama dan pemuka agama Islam yang berusaha menegakan syariat Islam yang berdasar Al Quran dan Al Hadits, berulang kali melakukan upaya pembinaan dan pelurusan. Bahkan mereka meminta bantuan pemerintah untuk bersikap tegas karena ummat Islam di Indonesia sangat menghargai pemerintahnya, sebagai bagian dari menjalankan syariat Islam, walau negara Indonesia bukan negara agama.

Tuntutannya hanya satu, sekte yang menyempal tersebut (menyempal karena mempunyai nabi selain Muhammad SAW dan memiliki kitab suci lain selain Al Qur'an) itu membubarkan diri dan segera bertobat untuk kembali ke pangkuan Al Islam seperti yang diwariskan oleh Muhammad SAW. Solusi lain juga diberikan, bila tidak mau membubarkan diri, dipersilahkan memakai nama sektenya, tetapi menanggalkan nama Islam. Islam yang hanya mengakui Muhammad SAW sebagai nabi terakhir, dan berpedoman pada Al Quran dan al Hadits, bukan kitab Tadzkirah.

Jadi, saya merasa apa yang terjadi dengan dinamika Islam di Indonesia salah satunya adalah untuk menjaga agar nilai-nilai Islam itu sesuai dengan apa yang diwariskan oleh Muhammad SAW dan disampaikan oleh para Anbiya, Aulia, serta ulama-ulama yang kompeten lainnya. Untuk menjaga eksistensi agama Islam itu sendiri, untuk menjaga penganutnya berada dalam barisan yang sama.

***

Al Qur'an adalah kitab yang harus dibaca dan diamalkan setiap penganut Islam, tentu dengan bantuan Al Hadits sebagai sarana untuk penafsirannya. Banyak hal di dalam Al Quran yang menuntut keimanan kita untuk mempercayainya (dalil naqli) dibanding dengan hal yang menuntut akal kita (dalil aqli).

Tetapi walau diharuskan menjadi bacaan kaum Muslimin, upaya penafsiran Al Quran tidak bisa kita lakukan semena-mena. Banyak persyaratan untuk menjadi penafsir Al Quran, yang dimaksudkan agar penafsiran itu tidak melenceng dan kemudian menjadi tafsiran yang menyesatkan. Karena bagaimanapun, di awal perjanjian kita dengan Alloh SWT sebagai muslim adalah mempercayai Al Quran sebagai kitab Alloh SWT, sebagaimana kita wajib mempercayai kitab lain yang diturunkan jauh sebelum Al Qur'an. 'Perjanjian' tersebut kita kenal sebagai Rukun Imam yang 6.

Itu juga menjelaskan mengapa sholat harus dilakukan dengan membaca doa-doa yang berbahasa Arab, karena setiap perubahan bahasa (baca: penerjemahan) tidak akan mencapai hasil memuaskan. Sedangkan di luar sholat, doa lain dipersilahkan menggunakan bahasa ibu kita. Sebagai seorang sarjana bahasa, saya bisa memastikan aksioma bahwa tidak ada penerjemahan yang sempurna kecuali mendekati.

Indonesia dengan kebhinekaannya pun mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, tanpa harus memberangus bahasa daerah. Demikian juga Al Islam, mengakui bahasa Arab sebagai bahasa persatuannya tanpa harus menghilangkan bahasa Indonesia kita, bahasa daerah kita. Khotbah dan dakwah di Indonesia tidak akan berhasil bila para pengkhotbahnya hanya menggunakan bahasa Arab. Lha, jangankan bahasa Arab, masih banyak lho yang tidak bisa berbahasa Indonesia.

Sebagai premis, intinya adalah bagaimana kita menjaga nilai-nilai yang sudah diwariskan bersama, nilai-nilai yang memang pasti memberatkan kita sebagai manusia yang cenderung ingin bebas dan seenaknya. Nilai-nilai yang mengikat (serta 'menyiksa' itu) sebenarnya adalah bukti pengakuan dan penyerahan diri kita terhadap Islam. Menjalankan syariat Islam, adalah bukti penyerahan dan pengakuan kita terhadap kekuasaan Alloh SWT. Lain tidak.

6.12.2011

My QR Code: can you decode this one?

DINAMIKA AKTIVIS MAHASISWA I

Iyeuh,
kudu aktif organisasi
ngarah apal birokrasi
pikeun ngumpulkeun koneksi
jaganing geto nyiar posisi

Iyeuh,
ulah tinggaleun demonstrasi
ngarah nyaho kondisi
sanajan saukur aksi
ngarah batur kataji

Iyeuh,
geuwat rengsekeun skripsi
ngarah gancang meunang korsi
nu gampil keur korupsi
hasilna beulikeun mersi
(ulah poho, bagi-bagi!)

Serang 31 Desember 1993
================
kungsi dimuat dina kumpulan sajak Diari, (1998) & Antologi Sajak Sunda Pamass Unpad (1995)
dihaturanan keur aktivis  mahasiswa 1990-an...

sigana loba nu geus baroga mersi yeuh, bari poho teu bagi-bagi ^_^

3.28.2011

Menonton Persib di Stadion, Dulu dan Sekarang

Tidak semua pertandingan Persib Bandung bisa saya ingat. Tetapi pengalaman pertama kali menonton Persib Bandung adalah hal yang tidak bisa dilupakan. Saat itu saya masih sekitar kelas 4 atau 5 sd lah. Jadi sekitar tahun 1984-1985-an. Saat itu  lagi berlibur ke rumah kakek dan nenek di Kawali, Ciamis. Pun tahu mengenai akan ada kunjungan Persib Bandung adalah dari berita tetangga, juga dari 'barker', mobil pakai 'halow-halow' (baca: pengeras suara) yang berkeliling kampung, mengumumkan bahwa di lapangan alun-alun Kawali akan ada pertandingan persahabatan antara Persib Bandung Selection melawan PSGC (Persatuan Sepakbola Galuh Ciamis).

Saya tidak ingat berapa skor akhir saat itu, hanya bisa mengingat bila harga karcisnya 300 rupiah (sebagai ilustrasi, 300 rupiah masa itu cukup untuk membeli sekotak Susu Ultra besar dan sebatang coklat cap Ayam Jago), dipakai masuk 3 orang (saya, adik saya, dan teman saya Asep Pa Iding). Selain itu, stadionnya pun sangat sederhana, hanyalah lapangan alun-alun kecamatan yang disulap menjadi stadion dadakan dan 'dikulibeng' (apa atuh 'dikulibeng' teh ya?) sekelilingnya dengan karung, bilik, atau kain biar penonton yang tidak punya karcis tidak bisa 'moncor'. Saat itu para pemain Persib yang terkenal adalah Adeng Hudaya, Robby Darwis, Adjat Sudrajat, dan Sobur. Sisanya saya tidak tahu, tapi kalau tidak salah di era Adjat Sudrajat ini Persib menjadi juara Perserikatan. Saat menjadi juara Perserikatan ini ada konvoy keliling kota Bandung. Waktu SD, saya sekolah di Banjarsari, Jalan Merdeka Bandung. Jadi kita menonton arak-arakan di depan sekolah, naik ke jembatan penyebrangan Gudang Garam (sekarang sudah tidak ada).

Bobotoh di Selatan



Sewaktu SMP dan SMA saya mulai berani nonton ke Stadon Siliwangi. Apalagi SMA. Walau lebih sering 'nonton siaran pandangan mata' di  RRI Bandung. Saat kuliah pun beberapa kali saya nonton ke Stadion Siliwangi. Terkadang menonton bareng dengan sahabat saya semenjak SMA, Ucup Mpep. Kita biasa menonton di Timur. Atau saat awal-awal Liga Indonesia (dulu Liga Bank Mandiri), saya tuturubun dari Jatinangor bersama Krisna Sastra Inggris ke Stadion Siliwangi, dan menonton di Selatan.

Ada pengalaman menarik dengan si Krisna ini. Saat itu  kita sedang mengikuti rapat kerja Senat Mahasiswa Fak. Sastra di Cileunyi, di rumahnya Yufik. Tetapi setelah shalat ashar, si Krisna ini dengan berbisik mengajak saya untuk 'kabur' dari rapat."Hayu ka Bandung, urang ka Siliwangi lalajo Persib", demikian katanya. Tanpa berfikir panjang, saya menyetujui ajakan si Krisna. Lalu dengan alasan yang dikarang sendiri, akhirnya kita berdua menyelinap dan kabur dari raker menuju Stadion Siliwangi. Bisa dibayangkan, lumayan lama dari Cileunyi ke Stadion Siliwangi di Kota Bandung. Turun dari Cileunyi pakai ojeg, disambung bis kota Damri  ke Kebon Kelapa. dari Kebon Kalapa naik 02 ke Siliwangi. Pergi jam 15.00 an, sampai stadion jam 18.00. Dapat tiket dengan harga calo, dan dengan sedikit 'speak bombay', Si Krisna bisa dapat tiket dengan harga murah.

Menonton Persib ke stadion dengan Krisna adalah pengalaman terakhir. Semenjak itu saya tidak pernah menonton Persib ke stadion lagi. Saya lebih banyak menonton Persib di televisi, atau mendengarkan siaran pandangan mata, langsung dari RRI Pro 2 FM. Sampai akhirnya pada pertandingan Persib melawan Persiwa Wamena (24032011) dan melawan Persipura (27032011) di Stadion Si Jalak Harupat, saya berkesempatan menonton pertandingan Persib secara langsung. Itupun karena ajakan sahabat saya, Wendy, yang bertugas meliput pertandingan tersebut.

Ekspresi bobotoh

Jeda sekian tahun tidak ke menonton ke stadion jujur saja, membuat saya terpesona. Apalagi menonton Persib di Stadion Si Jalak Harupat. Stadion yang sedemikian besar dan luas ini  harus diakui memang memiliki aura mistis yang mempesona. Sangat jauh dari pengalaman pertama saya menonton Persib di 'stadion' kampung di kecamatan Kawali Ciamis, atau stadion Siliwangi.

Banyak hal menarik yang sangat berbeda dengan massa lalu. Sekarang, tampaknya para bobotoh sangat peduli dengan penampilan. Setiap pertandingan Persib, selalu saja stadion berubah warna menjadi lautan biru karena bobotoh Persib hampir seluruhnya mengenakan pakaian berwarna biru. Hal yang dulu tidak saya temukan di Siliwangi. Dulu menonton Persib ya masih pakai seragam SMA atau kaos warna apa saja. Selain itu di setiap sudut stadion berkelamin perempuan pun bisa menonton pertandingan dengan aman tanpa godaan atau sentuhan tangan-tangan durjana. Jaman dulu di Siliwangi? Hanya ada di VIP. Pun anak-anak di bawah 12 tahun (bahkan ada yang sepertinya masih balita) dengan asyik bisa menonton pertandingan tanpa merasa khawatir. Bahkan dua kali ke Si Jalak Harupat, dua kali pula saya melihat penonton yang terdiri Ayah-Ibu-Anak, kompak mem-bobotohi Persib. Bahkan ada anak yang masih batita, masih digendong ibunya ada di deretan penonton bola yang umumnya orang dewasa.

Perempuan juga aman nonton ke stadion.

Dengan kata lain, sekarang ini menonton bola tidak hanya menjadi milik kaum laki-laki saja, tetapi milik siapa saja. Tidak ada kekhawatiran rusuh seperti jaman-jamannya Perserikatan dulu atau awal-awal Liga Indonesia digelar. Tentu ini adalah buah prestasi Pengurus Persib, kelompok supporter, juga pihak-pihak yang berkepentingan dengan pertandingan dan eksistensi Persib.

Hal menarik lainnya ialah sambutan warga mulai dari Kopo hingga Stadion Si Jalak Harupat. Sebelum dan sesudah pertandingan, sepanjang jalan masyarakat setempat seolah menyambut  para bobotoh yang datang dari kota Bandung menuju kota Soreang Kabupaten Bandung. Pemandangan itu tidak akan dijumpai bila Persib bertanding di Stadion Siliwangi, yang terdapat di tengah kota Bandung. Masyarakat setempat dengan antusias saling bertegur sapa dengan bobotoh, yang sepertinya menjadi hiburan tersendiri bagi mereka.

Beberapa kelompok bobotoh yang tidak menggunakan kendaraan pun tampak berjalan menyusuri jalan Cipatik hingga Stadion Si Jalak Harupati, atau sekitar 1 atau 2 jam berjalan kaki. Pemandangan ini juga terjadi setelah pertandingan usai. Pernah saya melihat beberapa bobotoh yang 'tertular' menjadi bonek, pulang menyusuri jalan aspal tanpa alas kaki, tanpa baju. Asli, tanpa alas kaki tanpa baju. Seorang teman bilang, mereka adalah kelompok bobotoh yang nge-punk, yang memang terlihat dari gaya rambut juga asesoris lainnya.

Pada perjalanan pulang, ada hal-hal yang membuat saya kagum. Di perempatan Bypass Soetta - Kopo, Soetta-Buahbatu, dan Soetta-Kiaracondong, saya melihat beberapa kelompok kecil supporter menunggu kendaraan umum atau pik ap yang akan membawa mereka pulang ke rumahnya masing-masing entah di mana. Padahal saat itu jam di tangan saya sudah menunjukkan pukul 01.30 dinihari, dan pertandingan sudah selesai sejak pukul 21.30 WIB.

Perubahan-perubahan positif juga terjadi setelah pertandingan Persib, walau masih tidak konsiten. Tidak ada lagi lampu-lampu jalanan yang dilempari, pot bunga yang dihancurkan, atau kaca-kaca pertokoan yang dilempari bobotoh yang marah kalau Persib bermain jelek dan kalah. Walau masih ada kerusuhan dan bobotoh rese, tetapi secara kuantitatif dan kualitatif sudah tidak seperti jaman dulu lagi. Pokoknya menonton pertandingan Persib sekarang bisa dikatakan seperti menonton bioskop atau teater. Aman, damai, dan menyenangkan, Tidak ada lagi potensi kerusuhan di dalam stadion walau Persib kalah.

Memenuhi hampir seluruh badan jalan Kopo Cilampeni.


Ada juga yang masih tidak berubah. Sepanjang jalan sebelum dan sesudah pertandingan, konsentrasi massa yang sedemikian banyak menimbulkan kekesalan dan keresahan pengguna jalan yang lain. Para bobotoh yang melakukan konvoy sepeda motor, dengan liar menguasai jalanan menuju stadion, terutama setelah Kopo Sayati hingga Stadion Jalak Harupat. Pengguna jalan lain pun terpaksa menepi sambil menahan kesal. Bahkan sebelum pertandingan dengan Persipura, ada insiden antara bobotoh yang dengan seenaknya memaki pengendara motor yang berlawanan arah. Si pengendara motor yang sepertinya anggota TNI dari arah berlawanan tidak terima dibentak-bentak bobotoh yang dengan ucapan "Nyisi Sia Anjing!". Si bobotoh lupa, sepanjang Kopo Sayati adalah 'sayang maung', di mana di wilayah itu ada pangkalan TNI AU, yang tentu saja tidak terima diperlakukan seperti itu.

Selain itu ada sepertinya ada adagium, bahwa "Siapapun lawan tanding Persib, tetapi plat B tetap musuh yang harus diintimidasi". Beberapa mobil berplat B (Jakarta) yang mungkin baru pulang berwisata dari Ciwidey dan sekitarnya, harus rela di-anjing goblog-kan oleh bobotoh Persib. Tak jarang mereka (bobotoh) melampiaskan 'kebobotohan' mereka dengan memukuli bodi mobil yang sedang sial karena berplat B itu. Kebencian dan permusuhan yang dipelihara antara bobotoh Persib dengan 'The Jak' Persija, dilampiaskan ke mobil-mobil plat B. Ini sudah berlangsung sejak dulu, bahkan mungkin sejak jaman kolonial dulu, saat Persib masih bernama Bandoeng Inlandsche Voetball Bond (BIVB) dan Persija masih dikenal sebagai VIJ (Voetbalbond Indonesish Jakarta) di tahun 1930-an.
Intimidasi terhadap penumpang mobil plat B.
Banyaknya calo juga masih seperti dulu. Walau sekarang sudah jaman online, tetapi calo masih banyak bertebaran. Padahal, selain online, tiket Persib juga bisa didapat di koordinator supporter sesuai wilayah. Tetapi, praktek percaloan ini masih saja tidak berubah dari waktu ke waktu. Tapi ah, jangankan Persib. Piala Dunia di Afrika tempo hari pun katanya tidak luput dari praktek percaloan ini.

Selain itu, beberapa bobotoh yang nakal juga masih saja menyalakan petasan atau kembang api saat merayakan gol ke gawang lawan. Padahal, kenakalan ini mengakibatkan Persib harus membayar denda pada BLI karena dianggap tidak mampu mengontrol perilaku para supporternya. Atau, masih saja ada bobotoh yang melemparkan botol atau apapun ke dalam lapangan sebagai ekpresi kekecewaan bila timnya kalah atau dicurangi wasit. Kenakalan-kenakalan bobotoh juga seringkali mengakibatkan Persib harus bermain tanpa penonton, atau diusir tidak boleh bermain di kandang dan harus melakukan partai 'usiran' di stadion yang jauh dari kota Bandung.

Satu yang tidak pernah berubah adalah ekspresi bobotoh terhadap perilaku perangkat pertandingan (wasit, lines man) yang dianggap berat sebelah dan berlaku curang. Betapa kecewanya saat final Persib melawan PSMS dulu di jaman Perserikatan saat Persib 'dicurangi wasit Djaffar Umar. Kekecewaan itu kemudian mungkin berkembang menjadi ekspresi atau frasa WASIT GOBLOG, yang kerap dilontarkan bobotoh bila Persib kalah akibat keteledoran dan 'kecurangan' wasit.
Selebrasi yang pasti mengakibatkan Persib didenda BLI.

Dari sekilas catatan ini, saya bisa mengira-ngira berapa lama saya sudah menjadi bobotoh Persib, dan itu tidak terjadi dengan sendirinya. Tidak serta merta karena saya 'urang' Bandung lantas saya menjadi bobotoh Persib. Selain karena pengaruh lingkungan, di sini ada andil bapak saya yang mendoktrin saya untuk menjadi pecinta Persib. Saya ingat saat putaran final Perserikatan (8 Besar), Bapak seringkali pergi menonton pertandingan Persib ke Senayan Jakarta/GBK. Bahkan saat Persib menjuarai Liga Indonesia digelar dan Persib menjadi juara, Bapak nekad ke Jakarta untuk menyaksikan partai final. Walau ternyata niat beliau tidak kesampaian, karena mobil angkot (benar, angkot!)  yang ditumpanginya mogok di daerah Purwakarta. Akhirnya Bapak pulang kembali  rumah dan tiba di rumah tepat beberapa menit setelah pertandingan final yang disiarkan langsung televisi usai.

Prestasi Persib mungkin jelas naik turun. Saya juga tidak selamanya pergi menonton Persib ke stadion, atau menonton di televisi atau mendengarkan lewat radio atau mengikuti via media lain. Tetapi saya sedang mewariskan semangat cinta Persib pada anak-anak saya, persis seperti saya mewarisi kecintaan itu dari Bapak, kakeknya anak-anak. Apalagi almarhum bapak mertua, kakeknya anak-anak dari pihak istri, konon katanya pernah menjadi pemain Persib di era 60-an. Semangat sportivitas olahraga juga sedapat mungkin ditularkan. Menang, kalah, seri, adalah hal biasa dalam pertandingan (juga dalam kehidupan). Bila menang silahkan bersorak senang, bila kalah tidak usah morang-maring. Kecuali ya itu tadi, kecuali kalah karena Wasit Goblog.
Bobotoh fanatik...

Biarpun disebut fanatik tidak jelas atau subjektif, saya akan tetap mendukung Persib dan 'mendidik' anak-anak untuk menjadi bobotoh Persib. Syukur-syukur bila si Kaka (anak sulung saya) kelak bisa menjadi pemain Persib. Disebut fanatik pun tidak keberatan. Bila saya fanatik dengan Persib, apa bedanya dengan mereka yang fanatik terhadap kesenangan lain? Banyak kok yang tidak suka nonton bola tetapi fanatik dengan kegiatan lain. jadi, apa bedanya? Nyari duit saja banyak kok yang fanatik, lupa diri, hingga lupa halal-haramnya uang yang dicari.

Jadi, tetap jadi bobotoh Persib yang santun, yang 3N. Nyunda, Nyantri, Nyakola. Juga perlu diingat, bobotoh tidak identik dengan ******* (satu klub supporter Persib besar). Tetapi jelas ******** adalah bobotoh. Menang, kalah, atau seri itu biasa untuk Persib. Tetapi wasit goblog memang jangan dibiasakan.

1.03.2011

Against All Odds: Menggerayangi Puncak Tertinggi Garut dalam 24 Jam

Berikut ini adalah tulisan sahabat saya, Adhi Pramudya, yang dipublikasikan di Facebook (http://www.facebook.com/note.php?note_id=490407143258). Spesial di awal tahun ini saya mengutip (baca: menyalin utuh) catatan perjalanan yang kami lakukan di penghujung tahun 2010 yang lalu, untuk mengawali blog ini.

Hak cipta dan publikasi foto, memang milik  saya, tetapi seluruh tulisan (kecuali beberapa 'caption' photo) adalah milik karib saya.

Selamat membaca.

==========================

Di akhir 2009 saya mengajak Ricky N. Sastramihardja untuk melakukan pendakian besar di 2010. Saya sebut pendakian besar karena secara pribadi saya tak pernah lagi melakukan pendakian sejak 4 tahun sebelumnya dan sepanjang 3 tahun terakhir saya total berhenti berolahraga. Bagi saya pendakian besar ini akan menjadi tolok ukur sekaligus titik tolak aktualisasi diri. Apakah setelah sekian lama tidak mendaki, tubuh, pikiran, jiwa saya telah berkarat ataukah masih tetap bisa diandalkan untuk waktu-waktu mendatang? 

Untuk itu saya merencanakan target besar pula, target yang tidak boleh terlalu mudah. Saya menunjuk Gunung Tambora di daerah Sumbawa. Kawah dengan radius 7 km terus menggelitik pikiran saya sepanjang tahun 2009. Namun musim kemarau yang tak kunjung datang di negeri ini sepanjang lebih dari 1,5 tahun, waktu persiapan yang minim, dan biaya perjalanan yang tidak sedikit membuat saya mengurungkan rencana ini. 

Memasuki medio 2010 rencana saya ubah dengan tujuan baru, yaitu Pulau Sempu di Malang Selatan. Ajakan teman dan pemandangan laguna yang terperangkap dalam pulau telah memukau imajinasi saya. Namun rencana ini lagi-lagi gagal akibat ketidakjelasan rencana teman tersebut. Padatnya jadwal kerja juga membuat saya harus mengurungkan niat melakukan perjalanan entah sampai kapan.

Akhirnya memasuki Desember 2010, saya bertekad melawan semua rintangan yang ada. Kembali mengajak Ricky, saya menetapkan target baru yang paling mungkin untuk dicapai dari segala aspek. Namun sekali lagi target ini tidak boleh terlalu mudah. Saya harus memilih tujuan yang sama sekali belum pernah saya kunjungi. Pilihan jatuh pada Gunung Cikuray, 2.821 mdpl, sebuah titik tertinggi di wilayah Garut. 

Walaupun tertinggi di wilayah Garut, Gunung Cikuray adalah gunung yang kurang populer di kalangan pendaki. Puncak Cikuray yang misterius, hampir selalu tertutup kabut, dan ketiadaan mitos-mitos lokal membuat Cikuray tidak lebih kondang dari Gunung Guntur yang berpasir dan terlihat masif, apalagi jika dibandingkan dengan Gunung Papandayan yang relatif mudah dicapai dengan kendaraan bermotor dan memiliki pemandangan eksotik di sana sini, dan dipuja sejak zaman penjajahan. 

Niat mendaki Cikuray terus saya pelihara di dalam benak saya sepanjang bulan ini. Dibayang-bayangi pikiran takut gagal lagi akhirnya kami berketetapan hati untuk berangkat dan menemukan momen yang dianggap tepat, yaitu waktu di antara Final Leg 1 dan 2  Piala AFF, antara Indonesia melawan Malaysia. Dengan waktu persiapan logistik dan peralatan yang tidak lebih dari 1 malam di tanggal 26, kami akhirnya berhasil mengajak satu lagi rekan, Donnie Arie, untuk bergabung melakukan perjalanan keesokan harinya.

Kami berangkat menggunakan bus dari terminal Cicaheum, Bandung pada pukul 10.30 menuju terminal Guntur, Garut. Tiba di sana kami makan siang dan melengkapi beberapa logistik  yang masih kurang. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke daerah Cilawu dengan angkot. Tiba di Cilawu kami melanjutkan dengan ojek melewati perkebunan teh PTPN VIII Dayeuh Manggung menuju Stasiun Relay, yang terletak tepat diantara batas perkebunan dan hutan Cikuray. Di pintu gerbang perkebunan Ricky diminta untuk menitipkan kartu identitas dan dikutip uang Rp. 10.000,- oleh satpam perkebunan.

Perjalanan menuju Stasiun Relay ini sama sekali jauh dari kata mudah. Jika menempuhnya dengan berjalan kaki, Stasiun Relay akan dicapai setelah 3-5 jam melewati perkebunan teh yang sangat-sangat luas. Dengan ojek pun perjalanan cukup menantang. Dengan waktu tempuh 40-60 menit Anda akan melewati jalan berbatu-batu kasar, kubangan air, naik turun yang tiada henti, dan percabangan jalan yang begitu memusingkan. Namun dengan jarak tempuh sekitar 12 km, ongkos yang ditetapkan terasa sangat sepadan. 

Namun tidak hanya itu tantangan yang kami hadapi. Setengah perjalanan melewati perkebunan teh, Cikuray menyambut kami dengan hujan yang cukup deras. Dengan laju ojek yang mirip roller coaster dan kecepatan angin pegunungan yang tidak ramah, kami tak bisa membayangkan jika kami harus menempuh perkebunan super luas ini dengan berjalan kaki. Angin yang  berputar bahkan bersuara keras seperti deru angin pantai. Inilah ketidakramahan pertama Cikuray yang kami rasakan. Namun lagi-lagi tantangan tidak berhenti sampai di situ. 

Saking derasnya hujan, pengemudi ojek akhirnya memakai jas hujan untuk menutupi badan. Sebagai penumpang kami juga ikut kebagian tertutupi oleh lembaran belakang jas hujan, namun justru di situlah masalahnya. Kami tidak bisa melihat apapun yang ada di depan dan sekitar kami. Saat itu kami hanya menyerahkan keselamatan kami pada Tuhan dan percaya sepenuhnya pada kemampuan pengemudi ojek dalam mengendalikan tunggangannya. Akhirnya sekitar pukul 15.00 kami tiba di Stasiun Relay dengan keadaan basah kuyup. 

Stasiun Relay ini dihuni beberapa stasiun televisi nasional. Dari titik inilah biasanya para pendaki menetapkan waktu permulaan dan akhir perjalanan. Di StasiunRelay ini kami menumpang istirahat, mengepak ulang, dan mengisi air bersih, karena memang Cikuray tidak memiliki sungai atau aliran air yang mudah dimanfaatkan. Inilah ketidakramahan Cikuray yang kedua. Tepat pukul 16.00 kami berangkat menuju punggungan gunung dengan satu doa sebelum perjalanan: semoga kami mendaki dalam keadaan cerah.


Tuhan mengabulkan doa kami, cuaca mendadak cerah. Tantangannya sekarang adalah pembuktian yang sebenarnya: mampukah kaki-kaki kami mendaki seperti tahun-tahun yang lewat? Di pinggiran perkebunan teh menuju hutan Cikuray kami disajikan jalan menanjak dengan kemiringan 30-40 derajat. Melewati sisa semak-semak teh kami mulai berada di punggungan gunung dengan ladang akar wangi di sekitar kami. 

Pemandangan dari sana begitu membahagiakan. Stasiun Relay terlihat cantik dengan menara-menaranya yang menjulang dan dilukis dengan lembah dan pemandangan Gunung Guntur dan Galunggung yang cantik di latar belakangnya. Dari sana menatap ke arah puncak Cikuray, terlihat jelas punggungan yang akan menjadi jalur kami menuju puncak. Melihat ketinggian dan kemiringannya, mau tidak mau kami pun menarik nafas panjang. Sungguh menantang.



Tanjakan pertama: melewati perkebunan teh. pada saat perjalan pulang, akhirnya kita sadar bahwa tanjakan ini adalah berubah menjadi turunan yang sangat berbahaya....

Lepas dari ladang akar wangi kami memasuki semak pakis yang rimbun dan pepohonan yang mulai meninggi. Inilah pintu hutan Cikuray. Jalur yang kami lewati masih tergolong landai dan di beberapa bagian agak meninggi dengan pijakan akar. Karena berangkat dari Stasiun Relay cukup sore maka target kami adalah menempuh jarak maksimal sampai kami berhenti di pergantian terang ke gelap. Tepat pukul 17.30 kami sampai pada lahan yang cukup rata di sisi kiri jalur dan bisa memuat 2 buah tenda. Kami memutuskan untuk bermalam di situ. 

Setelah menaruh beban, saya meminta Donnie dan Ricky untuk membangunflysheet sebagai shelter awal, dan saya memutuskan sementara naik sendirian untuk melakukan pengintaian jalur ke atas karena keadaan masih cukup terang. Beberapa puluh meter berjalan saya menemukan persimpangan jalan yang terbuka. Ada satu plang kecil bertanda panah ke kanan yang dipakukan ke batang pohon, namun agak meragukan. Saya memutuskan untuk mengambil jalur sebelah kiri. 

Semakin saya menempuhnya semakin rapat pula vegetasi yang ada, semakin basah jalurnya, semakin sulit karena banyak batang pohon tumbang, dan tentunya semakin gelap. Akhirnya saya memutuskan untuk berbalik arah ke persimpangan jalan sebelumnya. Saya menyadari bahwa ini adalah jalur yang salah. Waktu sudah sedemikian sempit karena cahaya sudah mulai pudar. Sampai di persimpangan saya lantas mengambil jalur yang benar dan menemukan kenyataan bahwa jalur mulai menanjak serius dari situ menuju puncak. 

Kembali ke camp keadaan sudah gelap dan kami mulai membangun tenda dan mengorganisasi persiapan istirahat dengan efektif. Kami menargetkan untuk tidak tidur terlalu larut, agar tetap bugar keesokan harinya agar mampu menghadapi jalur yang terhitung sulit menuju puncak. Dan dimulailah kegiatan favorit para pendaki gunung: memasak! Saya bertindak sebagai chef dan Donnie sebagai asisten chef. Ricky? Tentu saja sebagai pelanggan yang berharap acara memasak ini menjadi demonstrasi fast food mengingat jeritan perutnya yang sedemikian menuntut.





Menu makan kami malam itu adalah nasi putih dan deep-fried caramelized chicken, dilengkapi pop-corn sebagai makanan ringan serta kopi hangat sebagai penutup. Selesai makan waktu sudah menunjukkan pukul 22.00. Kami masuk ke dalamsleeping bag dan beristirahat. Malam itu saya tidak bisa tidur pulas semenit pun. Entah mengapa. Mungkin pikiran saya sudah lebih dulu berjalan-jalan ke puncak gunung ini, sehingga sering kali terjaga. 

Di luar tenda angin bederu kecang dan menampar-nampar pepohonan sepanjang malam. Sempat turun hujan kecil sekitar pukul 1 atau 2 dini hari, namun Cikuray terbilang cukup ramah malam itu. Kami beristirahat dengan tenang. Beberapa menit sebelum pukul 4 pagi saya memutuskan untuk bangun, melipat sleeping bag, membangunkan Donnie, dan langsung memasak untuk sarapan. Ricky bangun 1 jam kemudian.






Menu sarapan pagi itu adalah nasi putih, pan-fried corned beef, dan sup sayuran lengkap, ditutup dengan teh dan kopi panas. Di gunung ini tidak pernah ada hidangan yang panasnya bertahan lebih dari 3 menit. Suhu yang rendah membuat semua makanan atau minuman cepat mendingin dan harus disantap dengan segera. Selesai sarapan kami membereskan peralatan. Mempertimbangkan jalur yang tak mudah, kami memutuskan untuk meninggalkan sebagian peralatan dan logistik. Kami hanya membawa peralatan dan logistik yang dianggap urgen.

Pukul 07.00 kami meninggalkan camp dan menuju puncak. Di persimpangan jalan terbuka, kami berhenti sejenak untuk menutup jalur yang menyesatkan itu dengan dahan-dahan kayu dan menandainya. Dari sana jalur semakin terjal dan mulai menampakkan kesulitannya dalam keadaan terang. Jalur yang kami lewati masuk ke dalam hutan zona Sub-Montana yang terdiri dari pohon-pohon tinggi dan semak berdaun lebar, serta kabut yang masih terbilang masih tipis. Pijakan kami mayoritas terdiri dari pijakan akar pohon atau semak. Bahkan sering kali kami memerlukan bantuan tangan untuk mempertahankan keseimbangan. 







Namun bukan itu yang menjadi faktor kesulitan, melainkan sepanjang jalur menuju puncak ini mengingatkan saya pada kemasyhuran jalur Linggarjati yang ada di Gunung Ciremai, di mana sepanjang jalan ketika naik, lutut Anda berkali-kali akan menyentuh dagu. Di sepanjang jalan mungkin Anda hanya akan menemui 3 atau 4 pijakan landai di jalur utama, dan itu pun sangat pendek. Di luar itu Anda akan menemui jalur dengan kemiringan 40-50 derajat. Artinya penderitaan Anda tidak akan berakhir dengan singkat. Inilah ketidakramahan Cikuray yang ketiga. 







Jalur menuju puncak dapat dikenali dengan mudah. Pendaki-pendaki sebelumnya meninggalkan string tag berupa tali rafia yang diikatkan pada batang pohon. Namun bukan hanya itu, jalur sangat-sangat mudah dikenali karena pendaki-pendaki sebelumnya juga meninggalkan banyak sampah (!) berupa bungkus makanan, botol plastik, kaleng minuman, dan kantong keresek di sepanjang jalur, juga di beberapa pelataran landai yang digunakan sebagai camp. Edukasi yang kurang menyebabkan pendaki-pendaki ini enggan membawa turun sampah mereka. Sebuah perilaku tipikal yang mencoreng citra pendaki gunung dan sama sekali tak pantas ditiru.




Saya berjalan paling depan dan meninggalkan Donnie dan Ricky yang juga bertujuan untuk melakukan dokumentasi foto. Walaupun yang terdepan, perjalanan tidak saya lalui dengan mudah. Namun saya sangat menikmati pendakian yang sulit ini. Apalagi kalau bukan karena pemandangannya. Lepas dari zona Sub-Montana, Cikuray menyajikan pemandangan hutan khas zona Montana yang begitu memukau. Pohon-pohon tinggi yang basah, lumut tebal yang menempel di sana sini, dan tentunya kabut melayang yang seolah-olah membeku di sekitar kita. 






Akhirnya saya tiba di satu pelataran terbuka yang dikenal sebagai Puncak Bayangan tepat satu jam setelah berangkat. Setelah beristirahat untuk minum, saya segera melanjutkan perjalanan menuju puncak. Dari sana jalur yang dilalui lebih rapat, basah, terjal, dan berkabut daripada sebelumnya. Lebih pendek namun kemiringannya mencapai hampir 50-60 derajat. Setelah beberapa lama, saya mulai menemui jalur berbatu, pohon-pohon tinggi mulai menghilang, dan hutan dipenuhi semak pendek khas zona Sub-Alpin. Dari pemandangan itu saya sudah tahu: puncak sudah dekat!


Tak begitu lama saya menemui pijakan-pijakan batu ukuran sedang dengan vandalisme berupa coretan-coretan cat. Di sekitarnya terhampar semak eidelweiss, cantigi, cemara gunung, dan arbei yang sudah marak dengan bunga. Segera saya mempercepat langkah naik. Dan akhirnya tepat pukul 09.00 saya mencapai puncak!


PUNCAK!

Puncak Cikuray ditandai dengan adanya bekas Pos Relay yang berupa bangunan kotak dari dinding plesteran. Dulunya Pos Relay ini masih dilengkapi dengan pintu baja, jendela, peralatan operasi relay, dan menaranya. Namun semua itu sekarang hilang dan menyisakan bangunan kotak tanpa pintu dan jendela yang penuh dengan coretan cat. Di sana saya bertemu dua orang pendaki yang lebih dulu sampai lewat jalur pendakian Cikajang.


Saat itu puncak Cikuray ditutupi kabut tebal dan angin super kencang. Tak disangka saya sempat menerima panggilan telepon. Ternyata ada sinyal selular yang beberapa kali tertangkap di sana, namun sebentar kemudian drop. Dalam keadaan menggigil dan tangan yang mulai kebas, saya sempat berkirim pesan pendek namun tak lama sinyal dan baterai ponsel saya drop. Dengan murah hati saya sempat disuguhi kopi panas oleh kedua orang kawan baru saya ini. Satu jam setelah saya sampai di puncak, akhirnya Donnie tiba, dan Ricky menyusul 15 menit kemudian.

Kami langsung memasak air dan membuat susu cokelat panas dan mengeluarkan biskuit serta jelly sebagai menu makan siang kami. Berlima kami menikmati hidangan on-the-go sederhana ini. Memang kami belum sampai pada jam makan siang, namun angin yang dingin membuat kami harus mempertahankan suhu badan kami. Setelah itu kami berfoto ria dan saling bertukar nomor kontak dengan rekan kami dari Cikajang ini. 


Kabut tebal dan angin kencang terus saja mengurung kami yang berada di puncak. Sempat tersingkap sebentar, puncak Cikuray menghadirkan pemandangan luar biasa megah. Lembah Cikajang yang hijau dan Gunung Papandayan yang memukau di belakangnya. Sayang, pertunjukan ini hanya berlangsung beberapa detik saja, setelah itu kabut kembali naik. Alhasil, kami tidak berhasil mendapatkan foto pemandangan dari puncak. Tepat pukul 11.00 kami memutuskan untuk kembali turun dan meninggalkan kedua rekan kami tersebut yang masih memasak makanan. 


Seperti biasanya saya turun dengan lebih dahulu. Donnie dan Ricky menyusul. Ricky pun hanya mengambil sedikit saja gambar, karena mayoritas sudah diambil ketika perjalanan mendaki. Namun jangan Anda kira perjalanan akan menjadi mudah walaupun ini menurun. Pijakan yang berjauhan membuat lutut dan telapak kaki Anda bekerja lebih keras untuk menahan bobot tubuh, beban bawaan, dan menahan keseimbangan agar tidak terjatuh. Dengan pijakan yang berjauhan seperti ini, jika Anda terjatuh, maka risikonya akan lebih besar dibandingkan dengan pijakan yang landai.

Ternyata perjalanan turun pun cukup melelahkan. Setengah jam turun dari Puncak Bayangan saya sempat bertemu dua rombongan pendaki yang akan naik, satu dari Padalarang dan yang satunya dari Tangerang. Setelah mengobrol sebentar kami melanjutkan perjalanan kami masing-masing. Saya tiba di camp di mana kami bermalam tepat pukul 13.00. Artinya perjalanan yang saya tempuh, naik dan turun, memakan waktu yang sama (!). Sungguh perjalanan turun yang sama sekali tak mudah. Lagi-lagi perjalanan ini mengingatkan saya akan jalur Linggarjati yang kondang itu.


Setelah mengeluarkan peralatan yang kami sembunyikan, saya menunggu dua rekan saya turun. Cukup lama saya menunggu. Dan tepat seperti dugaan saya, satu jam kemudian mereka datang. Persis sama dengan waktu mereka mendaki. Tak menunggu lama setelah mereka datang, kami mulai mengepak ulang dan melanjutkan turun pada pukul 14.20 menuju Stasiun Relay kembali. Tak disangka, mulai dari saat itulah sesuatu yang aneh terjadi pada diri saya.

Saya mencoba berjalan turun seperti biasa, namun lama kelamaan keseimbangan saya mulai hilang. Seolah-olah kaki saya tidak lagi memiliki otot. Baru pertama kali (!) dalam hidup saya mengalami hal seperti ini dan saya tidak tahu apa sebabnya. Saya betul-betul kepayahan. Saya turun dengan mengandalkan pegangan tangan dan pengaturan keseimbangan. Pengalaman mengatur keseimbangan dalam olahraga panjat tebing benar-benar membantu. Jika tidak, saya pasti sudah ambruk pada saat itu.

Donnie tampak lebih baik dalam hal berjalan turun. Untuk itu saya minta ia berjalan di depan dan menunggu di ladang akar wangi agar pergerakan tim tetap lancar. Ricky? Anda sudah bisa menduganya. Walaupun ia sudah kepayahan sejak awal turun dari puncak dan tertinggal di belakang, tapi saya percaya bahwa ia mampu melewati kesulitannya. Ricky sudah pernah melewati tantangan yang lebih berat daripada ini. Kesulitan untuk saya belum berakhir. Mendekati pintu keluar hutan sudah tidak ada lagi pohon besar yang bisa saya raih, hanya ada semak pakis yang pendek, dan jalan pun semakin licin oleh lumut. 

Namun dengan susah payah saya akhirnya berhasil sampai di ladang akar wangi di mana Donnie telah menunggu. Dari sana Stasiun Relay sudah tampak begitu dekat. Donnie tampak melepaskan barang bawaannya dan berjalan-jalan di sepanjang galur ladang. Tak lama ia bercerita bahwa ia pun mengalami hal yang serupa dengan saya (!), terutama ia rasakan ketika berada di jalan datar. 

Ternyata bukan hanya saya yang mengalami hal ini. Dari situ saya paham bahwa kaki saya yang tidak pernah lagi digunakan untuk berolahraga intens lah yang menyebabkan saya begini. 3 tahun total berhenti olahraga dan langsung melakukan pendakian yang cukup berat dalam waktu yang singkat membuat otot saya mengalami overburn. Namun Donnie tampak jauh lebih baik karena kakinya sering digunakan untuk berolahraga futsal. Ricky? Saya enggan membayangkan dan cukup mengerti saja dalam hati.

Sedianya kami akan menunggu Ricky di titik itu dan baru melanjutkan perjalanan setelah ia datang. Namun tidak begitu lama saya datang, hujan mulai turun. Tadinya kami berniat bertahan, namun hujan malah turun semakin deras. Khawatir kondisi fisik kami semakin drop, akhirnya saya memutuskan untuk turun menuju Stasiun Relay bersama Donnie. Saya juga khawatir jika kami berada di area terbuka dalam kondisi hujan, maka potensi petir akan mendekati kami. 

Kami bergegas turun melewati ladang akar wangi dan semak-semak teh. Bergegas? Tidak juga. Karena kondisi kaki-kaki kami yang sudah kepayahan, perjalanan menuju Stasiun Relay jadi berkali lipat lebih sulit. Jalan yang licin, aliran air yang deras, ketiadaan pegangan membuat perjalanan turun makin sulit. Dan dengan segala daya upaya akhirnya kami berhasil mencapai Stasiun Relay. Donnie tiba beberapa menit lebih dulu. Saya tiba pada pukul 15.15. Kami berdua tiba dengan kondisi basah kuyup. 


Sambil menunggu datangnya Ricky, saya dan Donnie langsung bekerja sama memasak makanan panas. Saya memutuskan untuk memasak macaroni bolognaisedan kopi. Sembari memasak kami mengganti pakaian dengan pakaian kering. Kami sempat khawatir karena Ricky tak kunjung muncul. Mendekati sore hari tampak sesosok bayangan muncul dan mendekat dari semak-semak teh. Ternyata itu Ricky. Sempat mengambil percabangan jalan terakhir yang salah di kebun teh, akhirnya Ricky berhasil turun dan sampai di Stasiun Relay tepat pukul 16.00. 


Itu berarti tepat 24 jam, kami, trio pendaki nekat, telah tuntas menunaikan niat kami mendaki Gunung Cikuray yang selama ini hanya kami lihat kecantikannya dari jauh. Allahu Akbar! Ricky yang sampai di Stasiun Relay langsung membaringkan diri dengan tubuh kakunya ke lantai namun tetap tertawa-tawa. Kami semua tertawa-tawa. Menertawakan kepayahan kami, menertawakan kesuksesan niat, menertawakan kehangatan kisah perjalanan. Sungguh indah. 

Setelah makan sore itu, berganti pakaian kering, dan mengepak ulang peralatan, kami menghubungi ojek untuk menjemput kami. Terima kasih Tuhan. Anda bisa membayangkan, apa yang harus kami lakukan dan apa yang akan kami alami untuk turun ke Cilawu jika saat itu teknologi selular belum ada di Indonesia. Setelah berpamitan pada penjaga Stasiun Relay, kami turun dengan ojek pada pukul 18.00, melewati perkebunan Dayeuh Manggung yang gelap berkabut dan tiba di Cilawu sekitar pukul 19.00.


Kami cukup lama menunggu datangnya angkot yang akan mengantarkan kami ke terminal Guntur. Sekitar pukul 20.30 kami tiba di terminal. Untuk ukuran Garut itu sudah cukup larut. Akibatnya tidak ada lagi bus yang beroperasi untuk mengantarkan kami kembali ke Bandung. Namun setengah jam kemudian akhirnya kami menemukan mobil omprengan yang menuju Bandung. Memang berdesak-desakan, tarif lebih tinggi bahkan dari bus AC, dan suasananya sumpek karena beberapa orang merokok di dalam mobil yang kecil itu, namun kami bersyukur akhirnya kami tiba di Bandung malam itu juga dengan selamat dan relatif cepat.

Dalam perjalanan pulang dari Cilawu Ricky sempat bercanda dengan mengatakan bahwa ia kapok mendaki gunung, namun kami tahu bahwa itu tidak mungkin, sebab mendaki gunung akan selalu menjadi salah satu kegemaran dan kenakalan yang kami pelihara. Karena kami tahu bahwa jika kami tidak mendaki gunung, itu sama artinya dengan membiarkan tubuh, pikiran, jiwa kami berkarat, dan pasti kami akan menua semakin cepat. Pada saat di camp saya pun membagi adagium yang saya percayai betul kesaktiannya kepada Ricky dan Donnie.

Adagium itu berbunyi, "Anda tidak berhenti bermain karena Anda menjadi tua, namun Anda menjadi tua karena Anda berhenti bermain".

Selamat tahun baru!