4.01.2009

JALAN CAHAYA, JALAN YANG ENTAH KE MANA

http://6ix2o9ine.blogspot.com


:Catatan Pameran Foto “Jalan Cahaya”

Masih dari sebentuk pameran foto. Entah mengapa, kegiatan yang satu ini akhir-akhir ini tampak bergairah sekali. Padahal bila hanya untuk sekedar memajang foto-foto best collection saya fikir tidak memerlukan ruang pamer. Internet rasanya bisa mendekatkan antara karya dengan calon audiens-nya dengan lebih dekat. Banyak penyedia jasa web gratis yang bisa dimanfaatkan untuk men-display foto-foto. Katakanlah Blogspot, Wordpress, bahkan Friendster dan Facebook rasanya bisa dimanfaatkan untuk keperluan itu. Selain akan lebih mudah menjangkau khalayak karena daya jelajahnya yang seolah tanpa batas, juga akan lebih murah karena tidak perlu menyewa galeri, mencetak foto dalam kertas foto, atau membuat katalog. Di galeri digital khalayak juga bisa datang kapan saja tanpa dibatasi waktu dan ruang. Penyelenggara bisa memfokuskan kegiatan pada penyebaran publikasi untuk merengkuh khalayak agar log in dari komputernya masing-masing. Bila masih perlu semacam artist talk, barulah bisa menyewa ruangan untuk datang dan berdiskusi sekaligus kopdar sambil MEOK (Makan Enak Ongkang Kaki).

Seolah-olah dengan telah menyelenggarakan atau dengan mengikuti pameran, seseorang kemudian ditasbihkan sah sebagai seorang fotografer. Pameran tampaknya merupakan suatu arena pentahbisan seseorang dari manusia biasa menjadi seorang ‘toekang potret’. Lengkap dengan karya, biodata, juga sedikit euforia. Hal ini mengingatkan saya akan celoteh seorang teman yang menyatakan bahwa seseorang tidak bisa disebut sebagai fotografer hanya karena ia bisa membeli kamera Nikon.

Tidak ada yang sempurna. Mungkin itu bisa mengawali catatan saya tentang pameran foto “Jalan Cahaya” yang diselenggarakan Jepret Unisba (Universitas Islam Bandung), sebuah kelompok pegiat fotografi yang umumnya terdiri dari mahasiswa Unisba. Pada pameran yang diselenggarakan di Galeri Kita mulai 30 Maret hingga 5 April 2009, Jepret menyajikan 49 karya foto dari 17 orang fotografer yang terhimpun di dalamya. Karyanya pun beragam, mulai cetak berwarna hingga cetak hitam putih (dengan mesin warna) dengan berbagai genre dan teknik berbaur di dalamnya. Mulai yang bergaya jurnalistik yang berusaha jujur, fotografi panggung, hingga penambahan ornamen non-fotografis melalui olah digital. Pameran ini dilaksanakan setelah melalui tahap kurasi oleh tiga kurator, yakni Oji Kurniadi (pembina Jepret), Galih Sedayu, dan Deni Sugandi.

Mungkin sebelum memasuki ruang galeri ekspetasi saya terlalu berlebihan. Saya berharap “Jalan Cahaya” akan memberikan pencerahan melalui cahayanya. Di berbagai budaya dunia, kata cahaya kerap berasosiasi dengan pengertian harapan, keinginan, semangat, pencerahan, atau suatu hasil positif. Katakanlah dalam alegori manusia gua-nya Plato, alegori yang sering dipakai komunitas fotografi dalam berdiskusi. Di mana manusia dihadapkan tinggal dalam kegelapan dan hanya menangkap bayang-bayang sebagai kenyataan atau keluar dari gua untuk mendapatkan kebenaran lain. Kebenaran bayang-bayang adalah hasil persentuhan antara cahaya matahari yang terang benderang di luar yang menyusup ke dalam gua dengan tubuh mereka.

Tetapi harapan itu meleset begitu mencapai ruang pameran. “Jalan Cahaya” rupanya lebih merupakan suatu pameran ‘pajang’ karya daripada suatu pameran yang memberi gagasan atau permasalahan. Mungkin pada 5 buah karya pertama saya tertarik karena karya-karya itu seolah memberikan suatu permasalahan. Foto-foto di sekitar Jalan Layang Paspati yang diambil saat malam menjelang, lengkap dengan cahayanya, memberikan impresi yang bagus. Saya berfikir mungkin pameran ini akan mempersoalkan kegelisahan akan tata ruang sebuah kota yang menyimpan banyak cerita di dalamnya. Kegelisahan seorang warga akan kegiatan pembangunan di kotanya. Atau juga cahaya harapan yang dipahatkan pada aspal jalan layang Paspati yang telah mengorbankan banyak hal.

Ekspetasi itu mulai meleset saat memasuki ruang berikutnya. Persoalan tata ruang, cahaya, kota, manusia, seolah menguap begitu melihat foto-foto selanjutnya. Ternyata “Jalan Cahaya” lebih mengupas ke persoalan ‘cahaya’ dalam artian sesungguhnya. Persis seperti kuratorial yang ditulis Galih Sedayu ataupun dalam pengantar yang terdapat di dalam katalog. “Jalan Cahaya” lebih berpusat pada bagaimana sebuah kamera, menangkap cahaya dalam artian sesungguhnya. Nyaris seperti definisi fotografi pada awalnya, menggambar dengan cahaya. Bahkan lebih sempit, karena hampir seluruh foto yang dipamerkan bertendensi untuk ‘menangkap’ cahaya di malam yang gulita. Baik itu cahaya lampu, sorot lampu kendaraan, kembang api, lampu panggung dan lainnya. Bahkan beberapa di antaranya ‘nekad’ memotret landscape dengan sunset dan sunrise-nya, atau memotret cahaya matahari hangat yang menerobos dedaunan.

Katakanlah sebuah karya Yogi Artha misalnya. Dalam “Balubur Kini #2”, Yogi cukup cerdas dengan menangkap suasana temaram (entah senja entah fajar) di lahan bekas pasar Balubur lama. Foto tersebut seolah menjelma menjadi suatu metafor yang ambigu, di mana tidak jelasnya batas penanda waktu antara sunrise atau sunset yang jingga dan temaram, tataran simbolik cahaya sebagai harapan dan atau menjelang kegelapan. Apakah Yogi berusaha menafsir ulang bahwa pembangunan kembali pasar Balubur lama yang kumuh akan menjanjikan Pasar Balubur Baru yang katanya akan lebih bersih dan modern? Bila merujuk ke tema pameran, saya pikir, ya. Dalam “Balubur Kini#2”, Yogie berhasil melebur imaji dan cahayanya menjadi sebuah metafor yang positive thinking tentang pembangunan.

Sedangkan Atep M, melalui foto human interest-nya berjudul “Permohonan” juga berhasil menangkap cahaya sebagai tataran metafor yang menarik. Seorang penganut agama yang sedang khusyuk berdoa di depan sebatang lilin besar berwarna merah yang menyala. Ada kesyahduan, ada kekhusyukan, ada cahaya yang ingin diraih dalam doa dan pengharapan. Mata yang terpejam yang secara logika optik akan menghalangi masuknya cahaya ke retina mata, justru akan semakin mendekatkan cahaya ke dalam hati umat-Nya yang sedang berdoa itu. Dominasi warna merah pada lilin, pada cahaya sekitarnya, semakin menegaskan bahwa cahaya adalah doa, cahaya adalah harapan, cahaya adalah pembebas manusia dari kegelapan dan kejahiliyahan.

***

Jangan berharap banyak dengan menangkap korelasi antara judul dengan karya. Banyak di antaranya justru abai dengan permasalahan judul dan caption foto. Masih banyak yang terkesima dengan mitos bahwa sebuah gambar lebih bermakna dari sejuta kata. Padahal, sebuah kata yang tepat justru akan mengantarkan kita pada pemahaman akan gambar itu sendiri. Seperti misalnya “Warning” (Yogi Artha), yang mencerminkan suasana sunset di sebuah pantai di Bali, yang dianggap penuh bahaya.

Kembali bila dihubungkan dengan judul pameran secara keseluruhan, pemahaman arti cahaya secara leksikal, saya jadi bertanya: sejak kapan cahaya kemudian dianggap sebagai suatu peringatan bahaya? Mungkin dan pasti ada. Dalam beberapa cerita tradisional misalnya, hadirnya cahaya yang berkelebat kerap diasosikan dengan kejadian buruk yang akan menimpa. Misalnya dalam mitos banas pati, di mana cahaya yang berkelebat di malam hari hari dianggap sebagai pembawa kesialan, pembawa ilmu hitam yang akan mencelakai seseorang.

Tetapi judul “Warning” tidak seperti itu. “Warning” tidak menangkap momen banas pati menyambar seseorang di Bali. Judul itu diilhami oleh sebuah bendera peringatan yang dipasang penjaga pantai menjadi titik fokus gambar . Sementara saya tidak melihat adanya ‘warning’ dalam elemen gambar yang lain, selain ekspresi sebuah foto liburan yang indah yang pantas dipasang di album keluarga atau menjadi wallpaper dekstop komputer, bukan di ruang pamer sebuah galeri yang terhormat.

Begitu pula halnya dengan “Warna-Warni” (Jackson Doddi Priadi). Pada fotonya yang sudah jelas merupakan foto cetak warna saya heran kenapa ia masih memberikan judul “Warna-Warni”? ditambah dengan caption yang semakin sumir. Menurutnya foto itu diambil di Monumen Pancasila Bandung (catatan saya: perasaan mah tidak ada monumen Pancasila di Bandung, yang ada monumen PRJB yang kerap diplesetkan menjadi Monumen Perjuangan Rakyat Sekeloa, seperti yang bisa saya identifikasi pada gambar yang bersangkutan) yang merepresentasikan hanya ada tiga parpol yang berkuasa di masa Orde Baru. Herannya lagi, pada caption foto didapat keterangan bahwa tarikh foto tersebut bertanda tahun 2004. Apa hubungannya, ini kan bukan foto jurnalistik?

Saya sangat tidak puas dengan judul dan argumen Jackson. Bila ingin tampil ekspresif, kenapa tidak membuat judul yang lebih provokatif,-- “Cahaya Pembawa Petaka”, “Cahaya Dusta Indonesia”, atau “Cahaya Bersaudara” misalnya-- itu bila masih keukeuh ingin menghubungkan antara judul dengan isi gambar. Gagasan Jackson tentang warna-warni politik juga digugurkan dengan pencantuman tahun. Sebab, tahun 2004 sudah musimnya multi partai, tentu dengan banyak warna yang tidak hanya merah-kuning-hijau. Sayang, foto yang bagus, teknik yang menarik, dan gagasan yang asyik, terbantahkan justru oleh dirinya sendiri. Oleh satu frasa dan sederet kalimat yang seharusnya mengantar pada proses pemahaman dan penghayatan audiens, bukannya menjerumuskan.

***

Ada yang mencoba untuk bermain cahaya dalam artian yang harfiah, namun hasilnya cukup lumayan. Kali ini Andri B. Nugraha dalam “Pohon Cahaya” berhasil membuat cahaya gemerlapnya pesta kembang api menjadi karya yang cukup imajinatif. Bagaimana kemudian Andri tampak memaksimalkan fasilitas Bulb (B) pada kamera SLR-nya untuk menangkap tahapan sebuah kembang api hingga meledak dan menjelma menjadi menyerupai sebuah pohon kelapa atau pohon palem. Ada upaya untuk bersabar dalam merunut konsepnya. Walau tidak sempurna, tetapi pencapaian itu lumayan berhasil. Seharusnya Andri pun mengatakan terima kasih pada kemajuan teknologi fotografi karena karyanya itu tidak bisa didapat bila menggunakan kamera kelas entry level atau compact saja. Pun pada kamera generasi awal seperti kamera obskura atau daguerreotype misalnya.

Percobaan dengan cahaya juga membuat beberapa foto menjadi seperti tampak carut marut. Mungkin ingin menjadi semacam ekspresi yang abstrak, yang menurut saya bila digolongkan ke dalam penggolongan seni modern, lebih cocok berada di wilayah ekspresionis. Di mana fotografer berusaha untuk meluapkan emosi artistiknya dalam slow shutter (tak jarang di-set di B), dengan lensa yang tidak fokus, lengkap dengan handshake dan goyang-goyang yang disengaja. Sebut saja “AVA Blur” karya Anggi, “Sound of Light” karya Dani R, atau “Untitled” karya Andri B. Nugraha. Cukup menarik walau gagasan yang ingin ditonjolkan justru tidak tampak pada karya-karyanya selain menunjukkan teknik goyang kamera saja. Mungkin bila kelaka akan menjelajahi wilayah ekspresionis ini, mereka harus cukup banyak belajar mengolah dan menjelajahi emosi. Agar foto-foto yang dihasilkan kelak memiliki kedalaman emosi yang artistik, bukan narsisitik. Banyak contoh karya, baik dari seni lukis, ilustrasi, atau fotografi itu sendiri, yang bisa didapat dengan sedikit googling di Internet. Asal jangan belajar goyang kamera pada Julia Perez atau Denada, bisa beda ceritanya nanti.

Pada karya lain, sebut saja “Dream Day with Light” (Dani R), penggunaan cahaya dan warna cahaya justru lebih cerdas dimanfaatkan. Dani cukup gemilang menempatkan judul dengan karyanya sebagai suatu yang solid dan absolut. Bagaiman kemudian seperti tampak dalam gambar, seseorang yang duduk termenung berhadapan dengan cahaya. Bagaimana kemudian cahaya-cahaya berbinar akibat perbedaan ruang tajam (DOF) antara subyek dan background foto menjelma menjadi suatu pengharapan, suatu asa, suatu upaya menggapai jalan cahaya yang simbolik. Ini contoh foto yang berhasil menurut saya. Berhasil keluar dari kecenderungan berfikir literal menjadi lateral, kontekstual, dan simbolik. Nuansa imajinasi subyek foto pun bertambah kuat dengan penggunaan foto berwarna. Entah apa ceritanya bila dibuat dalam hitam-putih, walaupun hal itu memungkinkan dengan mewabahnya penggunaan software pengolah gambar yang dengan mudah membuat berwarna menjadi hitam putih hanya dalam satu klik pada mouse komputer.

***

Penggunaan software pengolah foto juga nampaknya tidak diharamkan pada pameran ini. Cukup membuat saya terhibur walau masih jauh dari puas. Karena penggunaan manipulasi digital masih sebatas tempelan atau trendi saja. Masih jauh dengan karya jama’ah tarekah Al Fotosoffiyah lain di belahan bumi lainnya. “Putri Cahaya” (Andri B. Nugraha) misalnya. Penggunaan software tampak jelas dengan memasang ornamen dekoratif floral pada bidang kosong yang hitam. Ditambah dengan setiap tepi foto yang dibubuhi garis pembatas/border berwarna hitam dengan efek guratan kuas. Membuat foto lebih menarik tetapi masih jauh dari kreatif. Karena hal ini seperti copy-paste dari foto-foto lain yang pernah saya lihat di foto-foto dokumentasi pernikahan/wedding atau foto-foto studio, yang sepertinya tidak ‘pede’ kalau tidak menunjukan pada calon konsumennya bahwa foto-foto mereka sudah digital, sudah computerized, sudah ‘photoshop banget gitu lho’.

Begitu juga penempatan teks di dalam karya foto. Pada jama’ah penganut aliran foto lain, menempatkan teks di dalam karya foto akan dianggap sebagai bid’ah. Sebagai heretic yang akan membuat foto tersebut menanggung dosa yang paling besar dalam kamus dosa fotografi jama’ah yang bersangkutan. Namun masih berjuta sayang, kenapa kebebasan untuk menempatkan teks tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik? Mengapa hanya foto-foto Rio Tri Atmaja saja yang nekad membubuhkan teks di atas karyanya? Itupun sekedar tanda tangan saja. “FilmOgraphy Arts” (yap, dengan “O” besar di tengahnya), kata yang tak ada maknanya bila dihubungkan dengan karyanya, dibubuhkan pada semua foto karyanya. Bagus? Mmm... .

Tidak ada relevansi antara teks “FilmOgraphy Arts” dengan foto yang bersangkutan. Bila berani melakukan eksplorasi lebih jauh antara teks dan fotografi, mengapa tidak mencermati karya-karya photomontage seperti yang digelorakan fotografi Dadaisme misalnya? Tengoklah “ABCD” karya Raoul Hausmann (1923) 1) atau atau “Tableau Rastadada” karya Francis Picabia (1920)2). Dadaisme yang dikenal sebagai anak bengal di dunia seni modern, berani seenaknya menempatkan teks di dalam karyanya-karyanya. Puisi dengan kata-kata dan tipografi yang tidak jelas. Puisi di atas foto. Foto diatas lukisan dan drawing, bahkan foto dengan berbagai macam manipulasi yang pada jamannya sangat luar bisa karena dilakukan secara manual di dalam kamar gelap.

Hal ini mengingatkan saya pada saat Ray Bachtiar Drajat, yang ‘budak baong made in Bandung’ menyatakan keheranannya pada masa kini, di saat software pengolah foto (orisinil, bajakan, ataupun gratisan seperti The GIMP sangat mudah didapat), komputer semakin canggih, dan fotografi semakin mudah dan murah, tetapi ternyata sangat minim eksperimen dan eksplorasi. Ray juga menyatakan bahwa dirinya pernah menjadi juri dalam suatu lomba foto kelas bebas. Namun dari 2000 foto yang masuk, ia merasa heran karena ternyata Photoshop telah menyeragamkan ragam fotografi kelas bebas. Kegelisahan Ray kemudian tumpah pada kamera obskura (kamera kaleng, kamera lubang jarum, pinhole camera) di mana cahaya ditangkap dalam arti seharfiah-harfiahnya. 3)

Tanpa bermaksud promosi, bila ingin sekedar menempatkan cahaya dalam karya foto, kenapa tidak memakai kamera lubang jarum (KLJ) saja? Karena dengan KLJ maka judul pameran “Jalan Cahaya” akan menemukan makna yang sebenar-benarnya. Atau cobalah bereksperimen dengan photogram di kamar gelap sungguhan (dengan cairan developer, fixer, stopbath, lembaran film ortho, kertas foto, dan lampu merah serta lainnya). Atau bila ingin lebih praktis, modern dan gaul, pakai saja kamera lomo. Tidak perlu kamera yang berjudul mahal, besar, berat, dan canggih. Tidak perlu sotopop, tidak perlu mesin cetak yang canggih dan mahal, tidak perlu industri berskala besar yang hanya meninabobokan kreativitas dan meliarkan konsemerisme.

***

Masih banyak memang yang perlu dibenahi dari pameran foto ini. Seperti misalnya pemasangan foto yang terkesan buru-buru dan jauh dari rapi. Selain itu pesan sponsor di setiap bingkai cukup mengganggu. Seolah tidak cukup disimpan di spanduk, poster, katalog, atau undangan. Menunjukan bahwa fotografi kita masih lemah dalam soal bargain dengan industri. Mengapa harus disimpan di pigura? Mengapa harus disisipkan di depan foto? Padahal bila mau, tidak selalu yang namanya pameran foto itu dicetak di atas kertas foto dengan mesin yang mahal. Ada solusi lain, misalnya penggunaan printer warna kelas rumahan yang sudah semakin murah dan bagus.

Selain itu, proses kurasi yang melibatkan tiga orang kurator rasanya berlebihan banget deh. Masa untuk mengkurasi foto yang ‘gitu-gitu aja’ diperlukan tiga orang kurator? Apalagi bila membandingkan karya yang lolos kurasi ternyata tidak lebih baik dari karya yang tidak lolos, yang juga dipajang di sudut lain ruang pamer. Seharusnya dengan tiga kurator, foto yang dipamerkan akan lebih selektif, dan lebih sedikit dari sekarang. Sepertinya memang ada pemaksaan kuota entah dengan alasan apa.

Satu-satunya penghiburan adalah adanya katalog, benda yang tidak saya dapatkan dari pameran-pameran sebelumnya. Walaupun dicetak sederhana dengan printer rumahan, saya rasa katalog ini lebih dari memadai karena seluruh hal-ihwal dalam pameran ini tercantum di dalamnya. Namun masih ada lentik cahaya di hati saya, semoga tulisan ini tidak meruntuhkan semangat untuk berkarya. Fotografer boleh datang dan pergi. Patah tumbuh hilang berganti. Tetapi karya yang baik akan tetap dikenang sepanjang sisa peradaban ke depan. Sebab bangsa ini memerlukan karya seni yang baik juga, tidak sekedar indah atau numpang lewat saja. Salah satu arah pencapaian adalah dengan memperbanyak silaturahmi, berdiskusi, bersantai dan bersenda-gurau untuk kemudian didedahkan menjadi suatu karya foto yang layak untuk dikenang.


1.Ades, Dawn. Photomontage, Revised and Enlarged Edition. Thames & Hudson, New York: 2000 (reprinted); Hal. 39
2.Ibid, Hal. 109.
3.Diskusi dalam acara Photo Speak 29 di Sabuga ITB, 26 Maret 2009.


==============================
1 April 2009

Ricky Nugraha
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi

www.6ix2o9ine.blogspot.com

No comments: