4.10.2007

Lagi-lagi STPDN!!!


http://6ix2o9ine.blogspot.com

Cliff Muntu (19 Tahun), mahasiswa tingkat II/madya IPDN Jatinangor (d.h. STPDN) tewas di RS Al Islam Bandung. Indikasi menunjukkan Cliff Muntu tewas akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh seniornya, mahasiswa-mahasiswa tingkat III/nindya. Berdasar laporan media hingga Senin malam 09/03/2007, Cliff Muntu tewas dengan sekijur luka leba, di tubuhnya. Lebih parah dari itu, biji zakarnya juga pecah karena benturan keras, serta terdapat sisa suntikan formalin dalam jasad malangnya.

Sekali lagi menunjukkan bahwa sekolah kedinasan yang dinaungi Departemen Dalam Negeri/Depdagri ini betul-betul sekolah yang haus akan tindak kekerasan yang berujung maut. Cliff Muntu jauh-jauh datang ke Jatinangor dari Menado dengan maksud menjemput impian menjadi aparat negara. Namun apa daya, sebelum sampai saat itu, ajal lebih dulu datang menjemput melalui tangan-tangan penuh darah.

Tangan-tangan penuh darah. Tangan-tangan itulah yang dalam 5 atau 10 tahun lagi akan menjadi aparat negara, yang akan menjadi pelayan masyarakat. Tangan-tangan itulah yang akan menjadi pengelola negara, pengelola masyarakat. Tangan-tangan yang penuh kekerasan dan sadisme….

Sebagai catatan, hal serupa juga terjadi di sekolah kedinasan lain, kali ini di Bekasi. Tepatnya di STTD (Sekolah Tinggi Transportasi Darat) yang dikelola oleh Departemen Perhubungan. Kekerasan senior terhadap junior di STTD sempat menelan korban meninggal. Kejadian tersebut terjadi tanggal 15 Februari 2007 lalu (baca: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0702/17/metro/3328791.htm). Namun entah kenapa blow up media massa tidak sebesar IPDN. Mungkin saat itu berbarengan dengan kejadian dan musibah lain yang senantisa melanda negeri ini.

Dan ini bukan isapan jempol atau berita koran. Adik sepupu saya yang tahun 2006 kemarin berhasil menjadi salahsatu mahasiswa di STTD mesti mengalami operasi usus buntu akibat pemukulan dan perppeloncoan yang dilakukan seniornya. Adik saya hanya bertahan satu semester saja. Sekarang ybs berhenti dari kuliah dengan kondisi psikologis yang traumatis. Secara fisik ybs terlihat sehat, namun secara emosi tampaknya ia masih mengalami trauma.

Penyiksaan-penyiksaan tersebut tampaknya dikondisikan secara sistimatis di sekolah-sekolah kedinasan tersebut. Sampai saat ini memang saya baru tahu ada di IPDN dan STTD. Entah di sekolah kedinasan lain seperti Akademi Militer atau Akademi Kepolisian. Entah tertutup rapat hingga tidak terendus media, atau memang tidak ada kejadian.

Namun yang jelas, hal tersebut menjadi indikator penting bahwa bangsa kita ini memang pecandu kekerasan. Sialnya, tidak hanya terjadi di masyarakat saja terpai juga di calon-calon aparat negara. Pantas saja korupsi dan manipulasi kerap terjadi dan sulit diberantas. Rupanya memang sudah dikondisikan sejak dini.

Perilaku senior-junior yang mengutamakan hubungan yang dibangun dengan kekerasan, mungkin efektif untuk menjalin relasi manipulatif dan birokrasi yang ‘lu ngomong gua bunuh!'. Relasi birokrasi yang berjalan berdasar ketakutan, ancaman, teror, dan kekerasan. Bukan relasi birokrasi yang sehat dan demokratis serta menjunjung kemanusiaan.

Pantas saja mau bikin KTP atau surat apapun selalu susah dan UUD (ujung-ujungnya Duit). Pantas saja, mungkin duit sogokan masyarakat tersebut untuk terapi psikologis aparat kecamatan-kelurahan eks IPDN (d/h. APDN, STPDN) yang selalu menjadi mimpi buruk mereka…

Fiuhhh….

Bandung, 10/04/2007
Foto: Kompas/Mohammad Hilmi Faiq
http://www.kompas.com/ver1/Nusantara/0704/03/191536.htm

4.04.2007

Kota Yang Dianiaya


Malam baru saja memulai harinya. Suhu udara mulai turun beberapa derajat. Selepas magrib itu, setelah bertemu dengan Imam seorang sohib lama, aku menuju ke timur Bandung untuk pulang. Motorku yang mulai renta, merayap perlahan jalanan dari Haur Mekar-Japati-Gasibu, untuk kemudian berbelok ke Surapati/Suci.

Sampai melewati pertigaan Gagak-Surapati kesadaranku masih dalam dunia andai-andai. Tak kupedulikan suasana jalanan dan keadaan malam itu. Pikiranku tertuju pada istri yang sedang hamil tua, pada pekerjaan, juga pada obrolan yang tadi dilakukan dengan Imam. Mendekati gedung Pusdai, tiba-tiba merasa heran, kenapa jalanan terasa lengang? Biasanya jalan Surapati dari Gasibu hingga Pasar Suci padat, dan seringkali macet. Sontak aku melirik ke kiri dan ke kanan, dan jrengggg…..

Di kiri-kanan jalan tampak onggokan kayu-kayu yang ditumpuk rapi menggantikan pepohonan yang biasanya rindang di sepanjang Surapati. Pemandangan tersebut berlanjut hingga perempatan Surapati-Pahlawan. Bahkan di sekitar kampus Itenas-Dapenpos pemandangan serupa terlihat walau dengan jumlah lebih sedikit.

Rupanya pepohononan yang rindang yang biasanya meneduhkan jalan Surapati telah ditebang seiring dengan rencana pelebaran jalan Surapati. Dibukanya fly over, jembatan layang, Pasteur-Surapati kembali menelan korban. Pada awalnya ratusan bahkan ribuan KK sepanjang jalur fly over yang kontroversial itu mengalami eksodus besar-besaran. Ribuan rumah dan bangunan digusur, ribuan orang berpindah pemukiman entah kemana sebagai koban gusuran. Tak puas dengan Paspati, roda pembangunan menggilas trotoar dan pepohonan sepanjang Surapati. Pembangunan fly over ternyata tidak cukup, jalan penunjang fly over pun musti diterabas agar fly over dapat menemukan fungsinya.

Menurutku pembangunan kota Bandung yang katanya ditata dan direncanakan oleh para ahli, hanyalah bullshit belaka. Pembangunan kota Bandung hanyalah facelift. Hanya seperti orang mengganti casing ponsel tanpa memperbaiki software dan hardware di dalamnya. Hanya ganti casing dari merah ke hijau, biru ke ungu, kuning ke entah. Tak lebih.

Sekian banyak pepohonan sepanjang Pasteur hingga Cicaheum dikorbankan atas nama pembangunan dan kelancaran ekonomi. Tak cukup dengan itu, jalur Tahura Djuanda-Punclut-Lembang kini dalam ancaman pembangunan jalan. Lagi-lagi atas nama kelancaran ekonomi dan pemerataan pembangunan.

Pembangunan apa? Pembangunan jalan layang, jalan tol, jalan raya berlapis beton, hanya dapat dinikmati orang-orang kaya yang memiliki mobil berjubel. Orang miskin yang berjalan kaki, naik sepeda, mendorong gerobak, mengayuh becak, naik angkot, naik bis kota sama sekali tidak bisa melewati jalan layang. Termasuk jalan layang Cimindi dan Kiara Condong. Orang miskin dipersilahkan berdesak-desakan, macet di bawah jalan layang, di jalan yang becek dan berlubang. Sementara itu pepohonan sumber udara bersih ditebang dan dikorbankan, diganti dengan plang-plang baja reklame produk yang sama sekali tidak kita butuhkan. Pembangunan jalan hanya menghamburkan devisa negara yang sebetulnya semakin menipis.

Pembangunan jalan hanya menguntungkan produsen kendaraan bermotor (baca: mobil) dan merugikan rakyat daripada membuat transportasi menjadi lancar. Langkanya BBM adalah karena disedot oleh orang-orang kaya yang memiliki mobil lebih dari kebutuhannya, dan subsidi BBM yang seharusnya menjadi milik rakyat miskin, dimakan oleh orang-orang kaya dengan mobil ber-ac-nya.

Pembangunan apa? Setelah bukit-bukit sekitar Bandung digunduli dan dijadikan pemukiman, kini pepohonan di dalam kota berada dalam ancaman. Coba hitung, 20 tahun lalu hampir setiap ruas utama kota Bandung masih diteduhi pepohonan. Tapi kini? Hanya tinggal sebagian Jalan Dago-Merdeka, Diponegoro hingga Ujung Supratman-A.Yani, Cihampelas, Cipaganti, sebagian Setiabudi, Sebagian Riau/Martadinata hingga Lingkar Selatan. Ruas jalan utama yang lain harus menunggu sedikitnya 20 tahun ke depan untuk kembali rindang. Itu pun bila pemkot tak lupa menanam kembali dan rajin menyirami pepohonan yang mereka tanam…

Pembangunan Bandung sebenarnya lebih pada penganiayaan dan pembunuhan. Bandung lama yang ‘gadis kampung’ perlahan dibunuh dan digantikan dengan Bandung Baru yang 'gadis metropolis'. Metropolis dengan segala kecongkakan dan kemunafikan. Bandung kini tak lebih dari sekedar perpanjangan tangan Jakarta yang penuh sesak dan berjubel. Setelah Botabek dan Karawang tak sanggup menahan derasnya Jakarta, kini Bandung mengalami getahnya.

Buktinya adalah pembangunan dan peresmian jalan to Cipularang yang dapat menghubungkan Bandung-Jakarta hanya dalam 1,5 jam saja. Bahkan lebih cepat daripada waktu tempuh Kampung Rambutan-Tanjung Priuk. Dan, lagi-lagi orang miskin tidak boleh lewat jalan tol. Jalan tol hanya untuk kalangan berduit saja. Orang miskin yang naik bis ekonomi hanya boleh lewat Cianjur atau tol Cikampek saja… Menyedihkan.

Bandung kini bukan Bandung yang kukenali lagi. Tak ada lagi kabut di pagi hari seperti 15 tahun lalu. Hampir setiap ruas jalan dilanda kemacetan parah sepanjang siang. Dulu, untuk mencapai Gedung Sate dari Kiara Condong dengan menggunakan angkot 09 hanya diperlukan waktu 15 menit. Bandung-Jatinangor menggunakan bis kota Damri Dipati Ukur-Jatinangor hanya 45 menit. Kini? Mimpi kali yee…

Sungguh, Bandung dianiaya para penguasa dan pengusaha. Dianiaya kekuasaan dan kekayaan. Bandung kini bukan milik orang Bandung lagi. Bandung kini tak bertuan. Bandung kini adalah Zombie Metropolis seperti Jakarta atau Surabaya. Bandung kini telah dianiaya oleh para pemuja harta dan konsumerisme. Mungkin, Bandung akan berganti nama menjadi Jakarta Timur Jauh atau Jakarta Timur Banget. Who knows...

20 Juli 2005, 12.00 WIB sungguh, aku menangis dibuatnya…

foto: dudi sugandi/PR On Line
pernah didistribusikan via Friendster Blog dan Milis Blue Hikers FSUP

Siapa Bilang...


Anggapan masyarakat yang mengatakan bahwa anak sekarang hidupnya lebih enak daripada anak jaman dulu, mungkin kini saatnya diganti. Setidaknya difikirkan kembali. Betapa tidak, anak sekarang yang duduk di SLTP atau SLTA, harus benar-benar kuat mental dan kuat biaya. Bagaimana tidak, sudah sekolah mahal, eh masih terancam tidak lulus juga. Sialnya, pintar sehari-hari juga tidak menjadi jaminan lulus Unas (ujian nasional).

Sebut saja Melati (17 tahun), siswi kelas 3 SMUN 6 di Jakarta. Menurut media massa, Melati adalah salah seorang dari sekian banyak pelajar yang tidak lulus dalam Unas 2006. Padahal yang bersangkutan, adalah bintang pelajar di sekolahnya, juara KIR (Karya Ilmiah Remaja), dan juara-juara lainnya. Lebih dari itu, Melati juga diberitakan telah mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi di luar negeri. Tapi beasiswa itu tidak berguna lagi karena Melati tidak lolos unas. Sebuah ironi yang menyakitkan...

Jaman kita dulu, jauh lebih enak. Kalau ingin lulus, jadilah trouble maker dan bad influence di sekolah. Insya Alloh, sekolah akan meluluskan para pembuat onar. Daripada bikin onar karema tidak lulus, lebih baik diluluskan. Dan, kelulusan tersebut tidak berhubungan dengan ujian nasional yang dulu disebut Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) sepanjang pelajaran Agama, PMP (sekarang PpKN), dan Bahasa Indonesia tidak mendapat anga merah. Kalau masih merah juga, sediakan segepok rupiah untuk saweran dengan kepala sekolah atau penilik, pasti cespleng...

Jaman dulu juga tidak perlu beli banyak buku untuk sekolah. Bawa buku satu yang tipis dan dikantongi di kantong belakang, sudah bisa sekolah dan belajar. Tidak perlu beli LKS-LKS seperti yang sekarang menjadi momok menakutkan bagi para orang tua murid. Atau buku-buku handbook wajib lain, yang setiap tahun harus ganti. Dulu, kita masih bisa pinjam buku bekas kakak kelas kita, karena isinya sama saja. Sekarang? Jaman harap...

Jaman dulu juga pagar sekolah tidak setinggi sekarang. Jendela-jendelanya tidak diberi teralis, dan di pintu gerbang tidak ada satpam, sehingga memudahkan kita untuk lompat jendela, lompat pagar sekolah, dan lalu bolos ke dept. store terdekat untuk nongkrong, menggoda cewek lewat, sambil merokok seenaknya.(maaf, dulu belum ada mal...). Sekarang? Uh, penjara saja kalah sama sekolah. Pagarnya tinggi-tinggi dan jendelanya dilengkapi teralis besi. Di mal-mal sekarang banyak aturan untuk tidak merokok, dan supermarket terdekat sepakat untuk tidak menjual rokok pada remaja berusia di bawah 18 tahun.

Jaman dulu, ga punya ongkos buat sekolah, masih bisa jalan kaki sambil menikmati embun pagi dan matahari yang baru menghangat. Bebas polusi dan tidak takut tabrak lari. Jaman sekarang? Punya duit juga harus datang lebih pagi agar kebagian angkot. Mau jalan? Cari penyakit aja....

Jadi, sudah saatnya kita berhenti berkata (bisanya sambil bersungut-sungut iri) bahwa anak sekarang hidupnya lebih enak. Jujur saja, masa lalu kita (kebanyakan dari kita) sebagai pelajar masih lebih enak daripada anak jaman sekarang. Beberapa hal dari masa lalu yang enak, tidak bisa kita wariskan karena perubahan paradigma sosial masyarakat.

Jadi, hidup masa lalu!!!


foto: http://www.astriddita.com/blog/archives/2007/01/
tulisan ini pernah didistribusikan via Friendster Blog dan Milis Blue Hikers FSUP
07072006

Negeri Segala Ironi

Sudahlah, tak perlu banyak berdalil. Namun yang jelas, semoga Alloh SWT menurunkan azab pada mereka yang telah mendzolimi negara ini: Para Koruptor dan Penjahat Lingkungan Hidup.

Kita tidak punya bukti untuk mengungkap kejahatan dan kedzoliman mereka, tetapi Alloh lebih dari melihat, lebih dari sekedar mengetahui apa yang ada di negara ini. Negara yang dijuluki negara maling (kleptokrasi), negara yang telah dzolim pada rakyatnya. Pemerintah yang korup dan tidak membela kepentingan rakyatnya. Anggota Dewan (DPR/DPRD) yang juga manipulatif, bodoh, dan durhaka karena mensiasiakan amanat rakyat. Kaum kapitalis-borjuis yang mengutamakan penumpukan dan sentralisasi kekayaan.

Para petani menamanam padi tetapi mereka harus membeli beras dengan harga mahal. Sumber gas alam dan minyak bumi dari Sabang sampai Merauke, tetapi para ibu harus antre minyak tanah dan bersungut-sungut karena gas LPG hilang dari pasaran. Para dai dan ustad bicara banyak tentang dosa dan pendosa, tetapi kejahatan semakin meraja-lela.

Setiap hari ratusan ribu hektar hutan Irian dan Kalimantan ditebang dan kayunya mengalir ke Malaysia dan Eropa. Setiap hari ratusan ribu kubik pasir dari Riau dan Sumatra membuat Singapura bertambah luas. Setiap hari bencana lingkungan mengancam negara yang bodoh dan bobrok ini…

Negeri segala ironi. Saat pendidikan semakin sulit, biaya pendidikan pun semakin meningkat. Semakin banyak yang terdidik, semakin banyak pengangguran dan pecandu mimpi intelektualitas.

Ya Alloh SWT, tuntun kami dan keluarga kami dari azab-Mu yang pedih. Jangan jadikan kami seperti kaum nabi Nuh atau Luth. Beri kami kekuatan untuk selalu di jalan-Mu. Dan bila boleh kami meminta, berilah azab untuk tirani yang mendzolimi dan menyakiti rakyat. Azablah para koruptor yang mencuri biaya pendidikan dan kesehatan kami. Azablah para spekulan yang menyembunyikan beras dan energi kami. Azablah para pencuri yang bertahta di balik kekuasaan dan kemewahan…

Ciamis, 010407

Selamat Jalan Oom Chrisye


Jumat pagi, 31 Maret 2007. Televisi-televisi Swasta menayangkan berita duka cita:
Innalillahi wa inna illaihi rojiun. Telah kembali ke haribaan-Nya, H, Chrismansyah Rahadi atau Chrisye, setelah sekian lama menderita kanker paru-paru, dalam usia 58 tahun. Semua terhenyak. Semua berduka. Tapi Alloh SWT telah menentukan apa yang terbaik untuk ciptan-Nya. Kanker paru-paru itu tak akan lagi menyakiti Oom Chrisye. Sang Legenda Pop Indonesia, kini sudah kembali ke pangkuan Sang Khalik Penciptanya.

Lagu-lagu Oom Chrisye akan tetap dikenang para penggemar musik Indonesia. Tua dan muda. Bahkan mungkin untuk generasi baru yang saat Oom Chrisye meninggal, belum lahir. Lagu-lagu yang dinyanyikan Oom Chrisye akan senantiasa mengalun di jagat musik Indonesia.

“Hip-hip Hura-Hura”, adalah lagu yang pertama kudengar secara utuh, dalam arti tahu siapa yang menyanyikan dan bagaimana lagunya. Saat pertama kudengar lagu itu, aku masih duduk di SD. Kelas 4 atau 5 mungkin. Atau mungkin kelas 3 atau kelas 2. Entahlah, bagian itu tak penting. Yang penting yang kuingat adalah lagu tersebut kulihat di TVRI dalam acara Aneka Ria Safari (yang lebih dulu almarhum). Dengan gayanya yang khas, Oom Chrisye membawakan lagu riang itu diiringi penari latar yang berpakaian warna-warni.

[…]
O hip-hip hura-hura (hura-hura)
Uuu, aku suka dia (suka dia)
Uuu, aku jatuh cinta (jatuh cinta)
Dia pun menanti
Cinta bersemi di hati
Di hati ada cinta
[…]

Selain itu aku teringat akan kaset lama soundtrack film Badai Pasti Berlalu. Di album itu Oom Chrisye menyanyikan banyak lagu hits yang menembus batas ruang waktu. Bahkan di awal millenium baru, seiring re-make film tersebut, album Badai Pasti Belalu juga dirilis ulang dengan judul Badai Pasti Berlalu Millenium. Arransemen baru dan nafas baru lahir di album ini. Tetapi ciri khas dan kebeningan suara Chrisye tetaplah seperti yang kudengar di album terdahulu.

Semoga lilin-lilin kecil menerangi istirahatmu di samping-Nya Oom Chrisye
Semoga karya dan pengabdianmu menjadi inspirasi bagi kita yang ditinggalkan

foto: Kompas.com//Hasanuddin Assegaff
Ciamis, 010407